(Melacak Pemikiran Abû Al-A’lâ Al-Maudûdî
Tentang Konsep Negara Islam)
Oleh : Mezan el-Khaeri Kesuma
Pengantar : DR. Arsyad Sobby Kesuma, LC. MA
A. Pendahuluan
Kajian tentang hubungan agama Islam dan politik di dunia Islam adalah salah satu tema kajian yang tidak pernah usai dan mencapai kata mufakat pada ranah final. Berbagai macam teori telah dimunculkan dan ditawarkan oleh kalangan cendikiawan Islam—baik itu masa klasik maupun modern. Lebih menarik lagi, tidak hanya kalangan pemikir Islam saja yang berusaha mencari solusinya, kalangan terdidik Barat pun yang sebenarnya tidak mempercayai doktrin ajaran Islam, tetapi hanya sebatas pengembangan ilmu pengetahuan, juga ikut terlibat dalam mencari formula baru tentang bagaimana seharusnya hubungan agama Islam dan politik.
Riak polemik itu juga melanda negeri Indonesia. Belum lama ini telah menghangat isu pendirian sebuah negara Islam (khilafah Islamiyah) dengan mengusung formalisasi syari’at Islam sebagai undang-undang resmi Negara yang disuarakan oleh beberapa organisasi keagamaan dan politik di antaranya adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jama’at Islam, Ikhwanul Muslimin Indonesia, dan beberapa organisasi keagamaan kecil lainnya.
Ada banyak sebab mengapa wacana pendirian khilâfah Islamiyah ini mulai menyeruak kembali. Beberapa faktornya adalah Pertama, karena tekanan rezim politik yang berkuasa yang hidup di bawah bayang-bayang kepentingan Barat. Kelompok Islam terentu tidak mendapat hak kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang berkuasa, dengan isu-isu modernitas ternyata tidak kunjung berhasil mengembalikan umat Islam ke dalam kondisi yang mapan bahkan semakin terpuruk baik itu dari sudut ekonomi, politik, dan budaya bahkan cenderung mendangkalkan paham agama. Sehingga dengan begitu, kehadiran fundamentalisme atau radikalisme agama dianggap sebagai alternatif ideologis satu-satunya pilihan yang nyata bagi umat Islam yang diharapkan dapat mengembalikan Islam kembali pada masa kejayaannya dengan berpedoman kepada Al-Qur’ân dan tuntunan Nabi (hadîts). Bagi kelompok ini, salah satu cara untuk mengembalikan kejayaan Islam seperti masa keemasan Islam dahulu tak ada cara lain selain membentuk atau mewujudkan apa yang dinamakan negara Islam sebagai pelaksana syari’at Islam secara total. Alasan yang dipegang oleh kelompok ini adalah bahwa Islam merupakan agama sekaligus negara (al-Islam huwa al-din wa al-dawlah).
Terlepas dari perdebatan pro-kontra di atas, yang pasti bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam Islam, keduanya saling keterkaitan. Dalam Al-Qur’ân dan penjelasan Nabi sendiri meskipun tidak secara jelas diungkapkan bagaimana atau bentuk pemerintahan seperti apa yang paling tepat dalam Islam, akan tetapi keduanya memberikan ajaran tata nilai dan etika bagaimana mengatur sebuah kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Nabi Muhammad sendiri meskipun tidak menyatakan secara tegas sebagai pemimpin negara, akan tetapi dia telah menjadikan negara sebagai sebuah alat bagi umat Islam untuk menyebarkan dan mengembangkan agama.
Pendapat senada—bahkan lebih tegas—prihal keterkaitan antara agama (Islam) dan negara dinyatakan oleh al-Maudûdî, ia secara lebih lugas menyatakan bahwa Islam dengan Al-Qur’ân tidak hanya berisi pesan moral, ibadah dan etika saja, akan tetapi di dalamnya juga berisi tuntunan-tuntunan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik termasuk di dalamnya prihal aturan hukum negara dan institusi kenegaraan. Segala macam aturan yang terkandung dalam Al-Qur’ân tersebut haruslah direalisasikan dalam dunia nyata dan salah satu caranya adalah dengan mendirikan negara Islam yang berbasiskan hukum Islam secara penuh. Menurutnya kita harus menegakkan hukum Ilahi berdampingan dengannya dan menjadikan syari’at sebagai Undang-undang negara. Ia menambahkan jika langkah ini (baca: mendirikan negara Islam) tidak dilakukan, maka kita tidak bisa menegakkan agama secara sempurna akan tetapi sebagian saja dari agama, dan jika hal ini terjadi, maka hal ini tidak lain adalah bentuk penolakan atas agama itu sendiri. Pendapat yang hampir sama pun diutarakan oleh Imam Khomeini, dalam bukunya Hukumat-i Islami, ia berpendapat bahwa Islam bukan sekedar agama etika tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Al-Qur’ân dan Hadîts bagi ditegakkannya suatu pemerintahan selama kegaiban al-Mahdi, tatanan sosial diperlukan bagi pelaksanaan syati’at. Di sini-lah menariknya pemikiran al-Maudûdî yang secara tegas berkomentar tentang pentingnya sebuah negara Islam. Bahkan lebih itu, pemikiran al-Maudûdî terkait dengan tema ini (negara Islam) menurut hemat penulis adalah merupakan pemikiran yang paling rinci dan komprehensif dibandingkan dengan beberapa pemikir Islam kontemporer lainnya.
Terkait dengan penelitian ini, dan untuk lebih mengoptimalkan kajian pemikiran al-Maudûdî terkait dengan konsep kenegaraannya, maka saya dalam kesempatan kali ini berusaha melihat secara komprehensif pemikiran politik al-Maudûdî yang berserakan dalam sejumlah karya-karyanya. Hal ini penting sebagai alasan mengingat pemikiran-pemikirannya digemari dan dijadikan acuan oleh beberapa ormas-ormas keagamaan di Indonesia. Persoalan-persoalan yang akan dicoba diungkap dalam kesempatan kali ini terkait dengan isu; Bagaimana pemikiran politik al-Maudûdî dalam hal ini tentang konsep kenegaraan?
B. Abû Al-A’lâ Al-Maudûdî
a. Mengenal Abû Al-A’lâ Al-Maudûdî
Ada banyak buku telah ditulis yang berisi ulasan tentang riwayat hidup dari tokoh fenomenal yang satu ini, di antaranya; Charle J Adams, Maudûdî dan Negara Islam, hal. 110 dalam John L Espositi (ed), Dinamika Kebangunan Islam; Watak, Proses, dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Pers, 1999). Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999). Syed Saad Gilani berjudul “Maudoodi: Thougth and Movement”, (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1984). Maryam Jamilah “Who is Maudoodi”, (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983). Ahmad Idris berjudul “Abû al-A’lâ al-Maudûdî; Sahafatun min Hayatihi wa Jihadihi”, (al-Qahirah; al-Muktar al-Islami, 1979). Khursid Ahmad dan Zafar Ishaq Ansari berjudul “Mawdudi an introduction to his life and thought” (London: The Islamic Foundation, 1979). Samir Abdul Hamid Ibrahim berjudul “Teladan Bagi Generasi Pejuang”, Penj. Fathurrahman Hamid, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2004). Azyumardi Azra, “Jihad dan Revolusi Islam; Pandangan Al-Maudûdî”, dalam buku “Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, Jakarta: Paramadina, 1996. Karena itu, saya tidak akan menyajikan lebih jauh prihal penelusuran sejarah hidup al-Maudûdî. Meskipun begitu pengenalan singkat tentangnya tetaplah penting dalam kesempatan kali ini.
Abû al-A’lâ al-Maudûdî (selanjutnya ditulis al-Maudûdî) lahir pada tanggal 3 Rajab 1321 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 25 September 1903 Masehi, di Aurangabad, suatu kota terkenal di Kesultanan Hyderabad (Decan), sekarang masuk wilayah Andhra Predes di India. Dilihat dari garis silsilahnya, nampaknya ia dilahirkan dari keturunan keluarga terhormat, nenek moyangnya dari garis ayah adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw, karena itu pada namanya ia memakai nama “Sayyid”.
Tidak hanya itu, dilihat dari beberapa catatan sejarah yang menceritakan latar belakang keluarganya, nenek moyang al-Maudûdî berasal dari para syaikh besar pengikut tarekat yakni tarekat Chistiyah, yang banyak berperan dalam penyebaran dan pengembangan Islam di India. Menurut sejarah, keluarga al-Maudûdî mempunyai kedekatan khusus dengan Dinasti Moghul, terutama selama pemerintahan penguasa terakhir yakni Bahadûr Syah Zhafar.
Menarik untuk dilihat sisi kontroversi nama dari tokoh ini. Jika dilihat dari makna namanya, Abû al-A’lâ artinya ayah dari Yang Maha Kuasa, sedangkan nama al-A’lâ (Yang Maha Kuasa) adalah merupakan salah satu atribut nama Tuhan. Nama yang disandang al-Maudûdî ini menuai kritikan dari pihak-pihak tertentu. Melihat kondisi ini, al-Maudûdî pun berang dan menganggap perlu menanggapi kritikan itu.
Dilihat dari keseriusan bantahan al-Maudûdî terhadap kritikan itu, nampaknya kontroversi di seputar nama itu cukup besar dan mengganggu al-Maudûdî, sehingga ia merasa perlu melakukan klarifikasi atau penjelasan terhadap namanya. Ia menjelaskan dengan mengutip dua ayat dari al-Qur’ân yang terdapat kata al-A’lâ dan al-A’launa, bentuk jamak dari A’lâ, diberikan kepada manusia yakni kepada Nabi Musa A.s dan kepada orang-orang yang beriman.
Hal yang menarik lainnya berkaitan dengan sejarah pemberian nama Abû al-A’lâ adalah yang diutarakan oleh sang Ayah sendiri yakni Ahmad Hasan. Menurut cerita ayah al-Maudûdî, sekitar tiga tahun sebelum al-Maudûdî lahir, seorang suci datang kepadanya dan berkata bahwa Allah Swt akan segera memberkatinya dengan memberikan seorang putera yang akan ditakdirkan menjadi orang besar dan berbakti untuk agamanya. Dalam versi yang lain, ayah al-Maudûdî, Ahmad Hasan, mendatangi seorang tokoh sufi di daerahnya. Tokoh sufi itu memberitahukan bahwa Allah akan menganugrahinya seorang anak laki-laki yang kelak akan dihormati dan mendapatkan kedudukan tinggi. Di akhir ceritanya, tokoh sufi tersebut memberikan pesan agar kelak anak itu diberi nama Abû al-A’lâ. Mendengar berita itu, ayah al-Maudûdî pun bergembira dan berharap informasi itu menjadi nyata. Ia pun berjanji jika ramalan itu benar, maka ia akan memberikan nama lepada anak yang baru lahir itu dengan Abû al-A’lâ sesuai pesan tokoh sufi itu.
Menurut Samir Abdul Hamid Ibrahim, nama “al-Maududi” adalah nama sebuah keluarga yang garis keturunannya sudah ada sejak tahun 1300-an silam. Nenek moyangnya yang pertama datang dari Jazirah Arab dan tinggal di suatu tempat yang bernama “Jasyat”, dekat dengan kota Harat. Di akhir abad ke-9 H, salah seorang nenek moyangnya yang diberi gelar “Tuan Maudud” pergi ke India. Orang yang mempunyai nama “Maudud” itu adalah Khawajah Qutbuddîn Maudûd (w. 527 H) seorang syaikh terkenal dari Tarekat Chisthi dan merupakan tokoh pendiri tarekat tersebut.
Menyimak sejarah keluarganya, al-Maudûdî kental dengan dunia sufi atau tarekat secara khusus. Dalam tradisi tarekat, kaitan dan pengenalan rangkaian guru dan murid atau nasab sangatlah diutamakan.
Selama kariernya sebagai seorang pemikir dan penulis, tidak kurang dari 130 buku telah dihasilkannya. Dari sekian banyak karya, yang ditulis dengan bahasa Arab, Inggris dan Urdu, al-Maudûdî membahas berbagai disiplin ilmu; Tafsîr, Hadîts, Sejarah, Politik, Hukum Islam, Ekonomi dan lain sebagainya. Kehadiran karya-karya al-Maudûdî ternyata mendapat respon yang hangat di masyarakat luas, bukan hanya di India dan Pakistan akan tetapi diseluruh dunia. Hal tersebut terbukti dengan hampir semua karya al-Maudûdî sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Menurut hasil penelusuran Samir Abdul Hamid Ibrahim pada tahun 1977 saja, karya al-Maudûdî sudah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa. Ia menuturkan penterjemahan karya al-Maudûdî ke dalam bahasa Inggris sebanyak 34 buah, bahasa Arab 48 buah, bahasa Bangladesh 43 buah, bahasa Sind 24 buah, bahasa Punjab 15 buah, bahasa Mahrathi 9 buah, bahasa Turki 8 buah, bahasa Perancis 9 buah, dan tak ketinggalan karya-karya al-Maudûdî banyak sekali yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Di anatar karyanya adalah Buku berjudul “The Islamic Law and Constitution”. Buku ini berisi uraian konsep pemikiran politik al-Maudûdî. Sajian dalam buku ini terbagi dalam dua bagian; Pertama, membahas aspek-aspek hukum Islam, yang meliputi legislasi dan ijtihad dalam Islam, serta upaya-upaya konstruktif penegakan hukum Islam dalam suatu negara. Kedua, membahas pemikiran politik dan konstitusi Islam, yang meliputi pembahasan teori politik Islam, konsep politik al-Qur’ân, prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam, landasan konstitusi Islam menurut al-Qur’ân dan al-Sunnah, dan pada bagian akhir menguraikan hak-hak non-Muslim di suatu negara Islam.
Buku lainnya berjudul “Nizhâm al-Hâyah al-Islâmîah”, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Islamic Way of Life”. Buku berjudul “Tangqihat” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Antidote Against Superfities and Aping the Western Way of Life”. Buku lainnya berjudul “Jihâd fi al-Islâm”. Buku ini merupakan karya pertama al-Maudûdî ditulis ketika ia berumur 20 tahun. Karya ini ditulis pada mulanya sebagai sebuah respon terhadap kondisi sosial umat Islam yang dihadapi waktu itu yakni insiden pembunuhan terhadap tokoh pemimpin kaum Sudhi, sebuah gerakan revivalis Hindu ekstrim yakni Swami Shardanand yang dilakukan oleh seorang Muslim. Dalam tragedi itu, Swami mendesak agar orang-orang Islam yang semula beragama Hindu kembali ke agama asalnya. Di samping itu, ia juga mencela figur Nabi Muhammad Saw dengan istilah-istilah yang bagi kebanyakan muslim sangat melecehkan dan menghina. Keributan antara kaum Muslim dan kaum Hindu pun terpecah, dan Swami Shardanand terbunuh. Terbunuhnya sang pemimpin gerakan tersebut membuat mereka menuduh bahwa agama Islam sebagai agama yang disiarkan dengan pedang (peperangan), kemudian muncul anggapan bahwa surga disediakan bagi setiap umat Islam yang membunuh orang kafir. Kondisi ini membuat al-Maudûdî tergerak hatinya dan merasa terpanggil untuk meredamkan masalah dan membela agama Islam dari fitnah yang dilancarkan oleh penganut agama Hindu tersebut. Dia menulis artikel yang di terbitkan di al-Jam’iyyât, sebuah koran yang diterbitkan oleh Jam’iyyât-i Ulamâ-i Hindî. Artikel yang diterbitkan secara berkala itu kemudian pada tahun 1927 dikumpulkan menjadi sebuah buku dengan judul “Jihâd fi al-Islâm” (Jihâd dalam Islam). Setelah buku ini hadir di tengah-tengah masyarakat, ia mengatakan bahwa ini merupakan faktor yang menentukan, yang membuatnya memahami sepenuhnya cara hidup Islam. Dilihat dari konsep jihâd yang ia sajikan dalam buku tersebut, nampaknya ia merujuk kepada konsep yang dibuat oleh Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim dengan tanpa menyebutkan namanya secara jelas. Dalam buku ini juga, al-Maudûdî mengkritik konsep jihâd yang ditawarkan oleh seorang ulama India, Abû Kalâm Azâd.
C. Pemikiran Politik Abû al-A’lâ al-Maudûdî;
Kajian Tentang Konsep Negara
Sebelum membahas lebih jauh bagaimana pemikiran politiknya, pada bagian ini akan diuraikan seputar objek kajian ilmu politik terlebih dahulu sebagai landasan sebelum membahas lebih jauh.
Definisi politik jika mengutip Kamus Littre adalah ilmu memerintah dan mengatur negara. Sedangkan dalam kamus Robert, politik didefinisikan sebagai seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia. Dalam definisi modern, politik mencakup pengaturan negara dan mengatur pola kemasyarakatan, sehingga kata “memerintah dan mengatur” itu, saat itu berarti—dalam seluruh masyarakat—adalah kekuasaan yang terorganisir serta lembaga-lembaga kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekan. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pemikiran politik secara khusus mengkaji segi kekuasaan termasuk di dalamnya terkait dengan hukum tatanegara atau dalam Islam di sebut dengan al-Ahkâm al-Sultâniyah.
Dalam mengkaji tatanegara dalam Islam, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan ini bermula dari sebuah pertanyaan apakah Islam dengan kitab sucinya mengatur perihal ketatanegaraan. Mengutip kembali apa yang diutarakan oleh Munawir Sjadzali dan M. Din Syamsuddin, setidaknya ada tiga kelompok ilmuan Islam yang mempunyai pandangan berbeda dalam menjawab permasalahan di atas, dan masing-masing kelompok tersebut sampai saat ini masih eksis menyuarakan pendapatnya bahkan semakin serius. Pertama, antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integreted). Menurut kelompok ini, wilayah agama juga adalah wilayah politik. Dengan kata lain, negara merupakan lembaga politik dan sekaligus lembaga keagamaan. Model ini, negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan. Penganut teori ini menurut M. Din Syamsuddin adalah kelompok Syi’âh. Kedua, mereka yang memandang antara agama dan negara berhubungan secara simbolik. Menurut kelompok ini antara agama dan negara terdapat hubungan timbal balik yang saling memerlukan, dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan kekuasaan negara agama akan dapat diaplikasikan dalam dunia nyata dan berkembang, sebaliknya negara dengan adanya peran agama akan terkontrol dari hal yang menyimpang. Di antara mereka yang menganut teori ini adalah Al-Mâwardî, Al-Ghazâlî, Fazlur Rahmân. Ketiga, antara agama dan negara bersifat sekularistik. Kelompok yang menganut teori ini melakukan penolakan atas penyatuan peran agama dan negara dan menolak pendasaran negara kepada Islam. Di antara mereka yang menganut teori ini adalah Alî ‘Abd al-Razîk. Argumentasi yang sodorkan oleh kelompok ini bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem kekhalifahan.
a. Konsep Tentang Negara Islam
Konsep al-Maudûdî tentang negara dilatarbelakangi oleh konsepnya tentang kebutuhan akan sebuah kekuasaan dalam rangka merealisasikan pesan-pesan Al-Qur’ân dalam kehidupan nyata. Karena menurutnya, Al-Qur’ân tidak hanya meletakkan prinsip moralitas dan etika, melainkan juga memberikan tuntunan-tuntunan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Ditetapkan pula tuntunan hukuman untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan demikian juga ditetapkan prinsip-prinsip kebijaksanaan fiscal dan moneter. Ini semua tidak dapat terealisasi dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata kecuali jika suatu negara Islam yang akan menegakkannya, di sini-lah menurut al-Maudûdî pentingnya sebuah pembentukkan negara Islam sebagai pelaksana syarî’at Islam yang telah ditentukan dalam al-Qur’ân. Konsep al-Maudûdî tersebut muncul dari penjelasan Al-Qur’ân (QS: An-Nûr:24: 2);
Menurut al-Maudûdî, agama Islam melalui Al-Qur’ân tidak hanya terkait dengan permasalahan ibadah saja, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat, tetapi juga termasuk hukum negara dan institusi kenegaraan. Jika kita ingin menegakkan agama Allâh, maka tujuan itu tidak dapat di capai hanya dengan menegakkan pranata puasa dan shalat saja, kita harus menegakkan Hukum Ilahi dan menjadikan Syarî’at sebagai Undang-Undang Negara. Jika ini tidak ditegakkan, maka meskipun pranata shalat dan sebagainya dilaksanakan, tidak akan menyebabkan ditegakannya agama. Ia hanya akan merupakan penegakan sebagian saja dari dîn, bukan dîn secara total. Jika yang ditegakkan justru hukum-hukum lain selain hukum Tuhan, maka merupakan penolakan atas dîn itu sendiri. Ayat Al-Qur’ân lain yang dijadikan sandaran oleh al-Maudûdî adalah (QS: al-Isra’: 80).
Al-Maudûdî memahami ayat ini dengan “berikan aku kekuasaan dan beri aku bantuan dari otoritas yang berkuasa, yaitu negara, sehingga aku—dengan bantuan kekuasaan tersebut serta sumber-sumber kekuasaan memaksa dari negara—mampu menegakkan kebajikan, membasmi kejahatan, menumbangkan korupsi, kecabulan dan dosa, meluruskan kebengkokan-kebengkokan yang telah menjalari kehidupan sosial dan mengatur keadilan sesuai dengan hukum yang telah Engkau wahyukan”. Inilah yang sebenarnya dimaksudkan ayat tersebut. Menurut al-Maudûdî bahwa reformasi yang hendak diwujudkan Islam tidak dapat dilaksanakan hanya dengan ibadah saja. Kekuasaan politik sangatlah penting untuk pencapaiannya. Dan karena perjuangan untuk meraih kendali atas organ-organ negara, jika digerakkan oleh niat untuk menegakkan dîn dan syarî’at Islam, serta untuk menegakkan perintah-perintah Islam, tidak hanya diperkenankan melainkan secara positif diperlukan dan oleh karenanya, diwajibkan. Menururtnya salah besar jika orang menganggap upaya ini hanya sebagai alat atau hanya bersifat duniawi atau mencap sebagai “haus kekuasaan”. Jika seseorang berjuang demi kemuliaan pribadinya dan berniat meraih kekuasaan demi kepentingan-kepentingan pribadi, maka orang inilah yang justru patut dikutuk dan tidak Islami. Tetapi jika kekuasaan yang dicari ini adalah untuk menegakkan Dîn Allah, maka tentulah dia merupakan tindakan Ilahiyah dan saleh, sama sekali jangan di campuradukkan dengan kehausan dan kekuasaan.
Jika kita melihat perjalanan pemikiran al-Maudûdî sangatlah menarik. Al-Maudûdî yang pada awalnya menolak pendirian negara Islam yang digagas oleh Liga Muslim ketika Pakistan memisahkan diri dari India kemudian berpaling menjadi seorang pejuang negara Islam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh al-Maudûdî?. Jika kita mencermati kata-katanya yang dituangkan dalam majalah Tarjumân al-Qur’ân, perihal penolakannya terhadap gagasan yang disuarakan oleh Liga Muslim, nampaknya al-Maudûdî bukan tidak setuju akan pentingnya sebuah pendirian negara Islam, hanya saja ia tidak menyepakati cara-cara yang digunakan oleh Liga Muslim di dalam mengusung gagasan pendirian negara Islam. Menurutnya, Liga Muslim yang mengeluarkan resolusi pembentukan negara Pakistan itu, menurut analisis al-Maudûdî sebenarnya bukan “Partai Islam” akan tetapi berbentuk “Partai Sekular”. Hal ini terlihat dari ideologi yang dipakai oleh Liga Muslim yakni mencantumkan “nasionalisme Muslim” sebagai asasnya, dan bukannya Islam itu sendiri. Dari sini nampaknya al-Maudûdî merasa ragu akan kesungguhan dan orientasi Liga Muslim dalam menyuarakan pentingnya negara Islam. Tidak hanya itu, al-Maudûdî juga merasa ragu akan para elite pemimpin Liga Muslim yang menurutnya tidak menjalankan ajaran Islam dengan sebenar-benarnya. Karena alasan inilah menurut hemat penulis kenapa al-Maudûdî tidak sependapat dengan Liga Muslim yang dimotori oleh Alî Jinâh dan bukan penolakan atas gagasan pendirian negara Islam seperti yang selama ini dianggap oleh beberapa peneliti pemikiran al-Maudûdî.
Uraian di atas menegaskan bahwa pendirian sebuah negara Islam bagi al-Maudûdî haruslah didasari oleh pondasi Islami. Tidak hanya itu, aplikasi kesalehan dalam dunia nyata bagi mereka yang menyuarakan gagasan negara Islam juga harus tercermin. Dalam sejarahnya, al-Maudûdî tidak pernah menolak rencana pendirian negara Islam, justru sebaliknya, ia adalah sosok yang sangat gigih di dalam menyuarakan arti penting pembentukan negara Islam, terlebih setelah Jamâ'ati Islâmî secara resmi menjadi partai politik yang mengusung gagasan-gagasan al-Maudûdî. Hal ini terlihat dari bagaimana upaya serius dari al-Maudûdî di dalam merancang proyek percontohan negara Islam dengan seperangkat aturan pelaksanaannya dalam Jamâ'ati Islâmî.
Pendirian negara Islam menurutnya haruslah diperjuangkan dimana pun dan dengan cara apa pun, apabila kita berkeinginan mengaplikasikan syari’at Islam dalam dunia realitas. Al-Maudûdî merasa yakin bahwa dengan adanya negara Islam, ajaran Islam yang sempurna dapat mewujudkan cita-cita Islam menjadikan sebuah negara yang tentram, tertib, damai dan hal inilah menurutnya yang dicita-citakan oleh Islam sendiri dalam al-Qur’ân. Untuk lebih jelasnya bagaimana pentingnya sebuah pendirian negara Islam dapat dilihat dari tujuan pembentukan negara Islam menurut al-Maudûdî di bawah ini.
b. Bentuk Negara Islam
Aristoteles dalam salah satu bukunya “Politika” membagi bentuk-bentuk negara ke dalam beberapa kategori berdasarkan pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi; Pertama, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan satu orang, jika kategori pertama dan tujuan pemerintahannya adalah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintah ini dinamakan pemerintahan monarki. Kedua, kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan beberapa orang, pemerintahan seperti ini, maka dinamakan pemerintahan aristokrasi. Ketiga, kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan banyak orang, pemerintahan seperti ini, menurut Aristoteles, disebut dengan politeia (kata Yunani) yang berarti konstitusi.
Uraian seputar bentuk negara juga diungkapkan oleh beberapa intelektual Islam baik pada masa klasik maupun modern. Di antara intelektual Islam yang mewakili masa klasik adalah Ibn Abî Rabî, ia mengatakan bahwa bentuk pemerintahan yang paling ideal diterapkan bagi umat Islam adalah bentuk monarki, yakni kekuasaan tertinggi dipegang oleh satu orang yaitu raja. Ia menolak bentuk pemerintahan aristokrasi, oligarki, bahkan demokrasi sekalipun. Alasan yang dikemukakan oleh Ibn Abî Rabî memilih bentuk pemerintahan monarki karena menurutnya jika kekuasaan tertinggi berada di tangan banyak orang, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan kerusuhan. Ulama klasik lainnya yang mempunyai pandangan hampir sama dengan Ibn Abî Rabî adalah Al-Ghazâlî.
Berbeda dengan pendapat di atas, Ibn Khaldûn dalam bukunya Muqaddimat tidak menyatakan dengan tegas mengenai bentuk pemerintahan yang ideal untuk diterapkan oleh Islam. Ia hanya menjelaskan bahwa hakikat dari pemerintahan terletak pada undang-undangnya. Menurutnya, undang-undang adalah jiwa setiap sistem kemasyarakatan dan dasar perwujudannya. Atas dasar itu, ia membagi bentuk pemerintahan ke dalam beberapa katagori; Pertama, al-mulk al-thabi’iy yakni suatu pemerintahan yang mengikuti hawa nafsu. Kedua, al-mulk al-siyasiy yakni pemerintahan yang mengendalikan rekayasa akal pikiran dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan menghapuskan kemelaratan. Ketiga, khilâfah atau imâmah, yakni pemerintahan yang mengikuti ajaran agama dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, hakikat khilâfah adalah pengganti kenabian untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Meskipun Ibn Khaldûn tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk pemerintahan yang dipilihnya, akan tetapi bisa dikatakan bahwa ia lebih memilih bentuk pemerintahan ketiga yakni khilâfah.
Menurut Jamâl al-Dîn al-Afghânî, Islam menghendaki bentuk negara republik, sebab di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undang dasar. Pemikiran al-Afghânî ini tergolong baru dalam sejarah politik Islam, sebab sebelumnya dan sampai masa al-Afghânî umat Islam dan pemikirannya hanya mengenal bentuk khilâfah yang mempunyai kekuasaan absolut. Bahkan lebih dari itu pemerintahan absolut menurut al-Afghânî adalah merupakan penyebab dari kemunduran Islam.
Berbeda dengan al-Afghânî, Muhammad ‘Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, karena bentuk pemerintahan harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berfikir. Hal ini bisa diartikan bahwa apapun bentuk pemerintahan, ‘Abduh menghendaki suatu bentuk pemerintahan yang dinamis agar mampu mengatasi perkembangan zaman. Jika di telusuri pendapat ‘Abduh ini, nampaknya mempunyai kesamaan dengan Ibn Taimîyah yang tidak mementingkan bentuk pemerintahan dan keduanya sama-sama berpendapat bahwa sistem pemerintahan disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihâd serta tidak berdasarkan pada sistem syari’at yang kaku.
Berbeda dengan kedua gurunya di atas, Muhammad Rasyîd Ridhâ mempunyai pendapat lain yang bertolak belakang dengan gurunya. Ia mengatakan bahwa bentuk pemerintahan Islam haruslah tetap khilâfah dengan memelihara kekuasaan absolut. Bagi Ridhâ, jabatan khalîfah adalah wajib syar’î, dan eksistensi khalîfah sangatlah penting dalam rangka menerapkan hukum syarî’at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa agama Islam adalah agama untuk kedaulatan, politik dan pemerintahan. Bentuk-bentuk pemerintahan selain khilâfah bagi Ridhâ tidak bisa menerapkan syarî’at Islam. Untuk mendukung pendapatnya di atas, ia memberikan pengertian yang satu kepada istilah khilâfat, imâmat al ‘uzmat dan imârat al mu’minîn, yakni kepala pemerintahan untuk menegakkan urusan agama dan dunia.
Menurut al-Maudûdî hanya Amîr satu-satunya yang berhak menerima ketaatan dan kesetiaan rakyat, dan bahwa rakyat mendelegasikan sepenuhnya hak mereka untuk mengambil keputusan mengenai semua masalah yang berkaitan dengan hajat hidup mereka. Kedudukan Amîr menururt al-Maudûdî sangat berbeda dengan raja atau ratu seperti di negara Inggris atau Presiden, atau bahkan Perdana Menteri. Dalam konsepnya, al-Maudûdî tidak menyebutkan bentuk pemerintahan seperti apa, ia hanya mengatakan bahwa bentuk pemerintahan yang digagas olehnya bukan seperti bentuk pemerintahan modern. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk konsep kedaulatan Tuhan atau dalam istilah modern dikenal dengan teo-demokrasi yang tepat diterapkan jika negara Islam kelak terwujud di Pakistan.
Melihat bagaimana seharusnya perilaku seorang khalîfah yang dirancang oleh al-Maudûdî bisa dikatakan bahwa bentuk pemerintahan harus seperti pada masa Khalîfah al-Râsyidîn. Akan tetapi jika kita lihat pada waktu perumusan konstitusi dalam Dewan Konstitusnte tahun 1956, rumusan itu mencantumkan nama resmi negara dengan “Republik Islam Pakistan”, hasil konstitusi itu ternyata mendapat dukungan dari al-Maudûdî. Meskipun al-Maudûdî dalam konsepnya menginginkan bentuk negara seperti Khalîfah al-Râsyidîn, akan tetapi ia menyetujui bentuk pemerintahan negara republik.
c. Struktur Negara Islam
Dalam bagian ini akan dielaborasi rumusan struktur pemerintahan sebuah negara Islam menurut al-Maudûdî. Menurutnya, struktur pemerintahan dalam negara Islam meliputi:
Pertama, Amîr (Kepala Negara) .
Sebelum mengurai definisi Amîr menurut al-Maudûdî, maka terlebih dahulu akan diuraikan definisi dari kata tersebut. Kata “amîr” adalah bentuk turunan dari kata “amira” yang berarti menjadi amîr. Kata “amîr” sendiri bermakna “pemimpin”. Jika kita bandingkan arti kata Amîr dalam kamus bahasa Inggris, maka akan ditemukan terjemahan sebagai berikut “orang yang memerintah, komandan, kepala atau raja”. Menurut Ibn Manzhur, kata “amîr” diartikan dengan seorang penguasa yang melaksanakan urusan. Bentuk jamak dari kata “amîr” adalah “umara”.
Jika dilihat dari sejarahnya, kata “amîr” pertama kali digunakan dalam pertemuan di Balai Saqîfat Banî Sâ’idah. Pada waktu itu pemimpin kaum Anshâr dan Muhâjirîn berkumpul untuk membicarakan siapa yang layak menggantikan Nabi. Ketika dua golongan itu berselisih paham, kaum Anshâr berkata: “dari kami seorang Amîr (pemimpin) dan dari kamu seorang Amîr. Menimpali ucapan kaum Anshâr, kaum Muhâjirîn berkata: ‘Kami adalah umara’ dan kamu sebagai wuzara (menteri). Dari pembicaraan ini, maka terpilihlah sahabat Nabi Abû Bakar sebagai pengganti Nabi dengan berbagai pertimbangan. Akan tetapi menariknya, jabatan yang dipegang oleh Abû Bakar tidak disebut sebagai Amîr, melainkan Khalîfah Rasul. Gelar Amîr mulai disandang ketika Khalîfah Abû Bakar wafat dan digantikan oleh ‘Umar Ibn Khaththâb dengan sebutan Amîr al-Mu’minîn.
Dari uraian definisi dan sejarah penyebutan gelar amîr di atas, sekarang masuk pada konsep tentang amîr yang ditawarkan oleh al-Maudûdî. Posisi amîr negara Islam menurut al-Maudûdî memegang kekuasaan tertinggi. Beban yang diemban oleh seorang amîr adalah bukan saja sebagai pemimpin eksekutif, tetapi juga ia harus bertanggung jawab terhadap urusan keagamaan. Argumentasi yang dibangun oleh al-Maudûdî adalah tradisi yang pernah dilakukan oleh Nabi dan masa Khulafâ’ al-Râsyidîn yakni “Amîr berkewajiban menjadi imam shalat fardhu’ lima waktu di masjid besar di ibu kota negara dan menjadi khatib disetiap shalat jum’at di masjid tersebut”. Dalam pemilihan seorang amîr, al-Maudûdî merekomendasikan dipilih dari mereka yang bertakwa, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt (QS: Al-Hujurat: 49: 13). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dalam pencalonan kepala negara (imarah) dipilih seorang Muslim yang biografinya, perangainya dan akhlaknya dipercaya masyarakat. Jika masyarakat telah sepakat maka calon baru diperbolehkan memimpin umat. Selanjutnya rakyat wajib mematuhi segala perundang-undangannya. Dalam masalah pelaksanaan hukum, secara total bersandar pada pemimpin (khalîfah) selama khalîfah itu mesih berkomitmen kepada syarî’at yang digariskan oleh Al-Qur’ân dan Hadîts.
Meskipun posisi amîr adalah pemegang kekuasaan tertinggi baik dalam pemerintah maupun dalam urusan agama, tapi secara yuridis, pemimpin Islam tidak memiliki kelebihan dan keistimewaan dari muslim lainnya. Seorang pemimpin kata al-Maudûdî tidak lebih dari seorang manusia yang lain. Dalam masalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan rakyat, pemimpin berhak mendapatkan kritikan atas keputusannya, baik dalam menjalankan politik pemerintahan maupun penyelewengan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut al-Maudûdî, jika masyarakat menghendaki amîr berhenti dari jabatannya, maka amîr harus berhenti. Kepada amîr-lah tempat mengadu dan menyelesaikan masalah.
Al-Maudûdî menjelaskan sikap yang harus dimilikiki oleh seorang amîr dalam menjalankan pemerintahan adalah sebagai berikut: Pertama, seorang pemimpin kata al-Maudûdî harus selalu memperhatikan asas musyawarah dalam menetapkan semua peraturan. Majlis permusyawaratan rakyat harus komit dan dipercaya penuh oleh umat Islam. Sistem perwakilan yang dipilih melalui suara umat Islam secara yuridis dibenarkan oleh Islam, sekalipun pada masa kepemimpinan Khulafâ’ al-Râsyidîn belum pernah ada.
Kedua, Menurut al-Maudûdî bahwa peraturan harus ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari seluruh anggota MPR. Hal ini menurutnya bukan berarti Islam menjadikan dominasi kuantitas sebagai standar kebenaran hukum.
Dalam pandangan Islam, boleh jadi ide seseorang tentang masalah tertentu lebih kuat atau benar dari pada ide atau pandangan kebanyakan anggota MPR . Kalau demikian, maka tidak dibenarkan mengambil suatu keputusan berdasarkan suara terkecil yang tidak mendapatkan dukungan dari suara terbanyak. Selanjutnya seorang pemimpin berhak mengambil jalan tengah antara dua fraksi, baik yang sedikit maupun yang banyak. Ia juga mempunyai hak memutuskan peraturan yang tampak kontradiksi dengan anggota majlis dalam persidangan. Namun begitu kata al-Maudûdî seluruh umat Islam mendapatkan kewajiban untuk mengadakan pengawasan terhadap pemimpin, apakah ia melakukan dan memutuskan peraturan atas dasar takwa kepada Allâh, atau hanya sekedar menuruti hawa nafsu semata. Dengan begitu, maka rakyat mempunyai hak menggulingkan sebuah rezim, kemudian melepaskan diri dari jabatan yang disandangnya.
Ketiga, menurut al-Maudûdî para calon pemimpin tidak dibenarkan meraih kemenangannya dengan cara yang tidak sesuai dangan tuntunan Islam. Sebagaimana Rasulullan saw bersabda: “Demi Allâh, sesungguhnya aku tidak menguasakan pekerjaan ini terhadap seseorang yang (sengaja) memintanya atau berambisi terhadapnya”. Al-Maudûdî menambahkan bahwa, tidak ada arena buat pencalonan atau perebutan kedudukan, apalagi dengan menggunakan kampanye-kampanye pemilihan. Hal ini tidak sesuai dengan pikiran dan pandangan Islam. Bila satu kedudukan diperebutkan oleh dua, tiga atau lebih, biasanya mereka akan saling menjatuhkan dengan cara melakukan penyebarluasan sisi kelemahan yang dimilikiki pihak lawan. Mereka mengadakan pesta-pesta untuk mencari pujian dan mencela calon lainnya. Dengan melakukan cara seperti itu mereka berhasil mendustai dan mengelabui rakyat. Berjayalah orang-orang yang pandai bermuka banyak dan yang banyak melakukan pemalsuan. Mereka yang banyak mengeluarkan uang akan menang. Demikianlah cara-cara yang berlaku pada masa ini. Al-Maudûdî mengkritiknya dengan cara-cara yang berlaku pada masa ini sebagai “cara setan”.
Keempat, dalam sistem permusyawaratan yang Islami, anggota majlis tidak dibagi-bagi menjadi beberapa golongan atau partai, namun setiap anggota majlis hendaknya mengeluarkan ide-ide kebenaran yang sifatnya pribadi. Islam tidak menghendaki anggota MPR turut serta dalam kepartaian. Hal itu akan menyebabkan mereka berserikat dengan partainya baik dalam kebenaran maupun kebatilan. Yang sesuai dengan ruh Islam kata al-Maudûdî adalah jika seluruh anggota majlis senantiasa berada dalam lingkup kebenaran dan tidak dibatasi oleh norma tertentu. Bila ada salah satu anggota mendapatkan ide yang tepat dan benar maka hendaknya mereka (para anggota lainya) turut mendukungnya, tetapi bila dikemudian hari idenya bertentangan dengan kebenaran, maka anggota majlis berhak untuk tidak berpihak atau mendukungnya.
Kelima, lembaga pengadilan dan kejaksaan Islam sepenuhnya berada di luar dari aturan-aturan lembaga eksekutif, karena tugas seorang hakim adalah melaksanakan Undang-undang Allâh untuk umatnya. Oleh karena itu, kekuasaan hukum tidak dapat diwakili oleh siapapun, hanya hak Allâh Yang Maha Tinggi dan Agung.
Hal yang sama juga terjadi pada khalîfah, di meja hukum, ia sama seperti manusia biasa, tidak seorang pun yang datang ke meja pengadilan mendapatkan keistimewaan hanya dikarenakan oleh kemuliaan atau latar belakang keluarganya. Menurut al-Maudûdî; petani, pedagang, maupun seorang kafir baik ia miskin atau kaya berhak mendapatkan pengaduan permasalahan ke lembaga pengadilan sampai ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan sampai kepada kepala negara sekalipun.
Menurut al-Maudûdî, hakim harus mengadili suatu kasus secara benar dan memberlakukan keputusan sekalipun kepada khalîfah, jika kasus tersebut merupakan tindak pidana. Orang yang mengadukan peristiwanya terhadap seorang khalîfah juga tidak boleh divonis sesuai dengan luapan jiwanya dengan kekuatan dan kekuasaan eksekutifnya, dan khalîfah pun menurut al-Maudûdî harus mengangkat kasus tersebut di pengadilan seperti umat Islam pada umumnya.
Mencermati pemikiran al-Maudûdî yang mengatakan bahwa tugas seorang amîr tidak hanya mengurusi pemerintahan, akan tetapi juga menjadi panutan dalam hal keagamaan membuat pola pemikirannya tidak jauh berbeda dengan para pemikir Islam pada masa klasik yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang komprehensif tidak hanya mengatur hal-hal yang terkait dengan ibadah saja akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk aspek politik. Pembahasan bagaimana mengatur sebuah pola kehidupan di dunia dengan baik termasuk di dalamnya tentang kenegaraan sudah dijelaskan dalam Al-Qur’ân dan Hadîts Nabi. Manusia tinggal mencontoh bagaimana pola kehidupan Nabi di dalam mengatur umatnya, karena posisi Nabi tidak hanya sebagai pengemban ajaran Allâh, melainkan juga sebagai teladan dan pemimpin bagi umatnya di dalam mengatur kehidupan.
Pemikiran al-Maudûdî tentang amir menarik, karena amîr berada pada posisi lembaga eksekutif. Pemikiran al-Maudûdî ini berbeda dengan mekanisme struktur negara yang berkembang di dunia modern. Menurutnya, model seperti inilah yang membedakan antara sistem negara yang diterapkan di dunia Barat dengan model negara Islam. Munculnya konsep al-Maudûdî seperti ini didasari oleh pemahamannya bahwa seorang amîr tidak hanya bertanggung jawab terhadap pemerintahan yang dipimpinnya melainkan juga terhadap agamanya karena ia berfungsi sebagai wakil Tuhan di bumi.
Kedua, Lembaga eksekutif
Menurut al-Maudûdî, tugas dari lembaga eksekutif adalah menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’ân dan sunnah serta menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman yang telah ditetapkan untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurutnya, kata ulul amri dan umarâ dalam Al-Qur’ân dan hadits untuk menyatakan lembaga eksekutif. Dalam lembaga eksekutif ini, menurut al-Maudûdî tidak hanya kepala negara saja, akan tetapi ada beberapa pejabat yang berfungsi membantu tugas kepala negara atau jika disepadankan bisa disebut dengan Menteri.
Ketiga, Ahl al-Hall wa al-‘Aqd
Secara harfiah Ahl al-Hall wa al-‘Aqd (badan legislatif) berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Sedangkan para ahli fikih siyasah mendefinisikan Ahl al-Hall wa al-‘Aqd sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan demikian Ahl al-Hall wa al-‘Aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Al-Mâwardî menyebut lembaga ini dengan ahl al-ikhtiyâri, sedangkan Ibn Taimîyah menyebutnya dengan ahl al-syûrâ atau ahl al-ijmâ’, sedangkan al-Baghdadi menyebutnya dengan ahl al-ijtihâd.
Prosedur pembentukan badan ini menurut al-Maudûdî sama dengan prosedur pemilihan umum yang dipraktekkan zaman modern, sepanjang ia dipraktekan dengan jujur dan bebas dari unsur kecurangan. Mekanisme pencalonan untuk menjadi anggota Ahl al-Hall wa al-‘Aqd, partai-partai dapat mengajukan para calon dalam pemilihan umum. Konsep yang ditawarkan oleh al-Maudûdî adalah meskipun para calon anggota badan Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dari berbagai unsur partai, akan tetapi ketika ia sudah menduduki anggota jabatan di badan Ahl al-Hall wa al-‘Aqd secara otomatis harus mengikuti dan mendukung sang amîr.
Dalam konsepsi al-Maudûdî, Ahl al-Hall wa al-‘Aqd tidak-lah sama dengan konsep yang ada dalam teori Trias Politica. Konsepsi Ahl al-Hall wa al-‘Aqd menurutnya lebih dekat pada Majlis Syûrâ. Fungsi utama Ahl al-Hall wa al-‘Aqd menurutya; Pertama, adalah sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa; Kedua, jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasulnya, meskipun lembaga legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka hanya lembaga legislatiflah yang mempunyai kompeten untuk menegakkannya dalam suasana dan bentuk pasal, menggunakan definisi-definisi yang relevan serta rincian-rinciannya; Ketiga, jika pedoman Al-Qur’an dan sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka lembaga legislatiflah yang berhak memutuskan penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam kitab Undang-Undang Dasar; Keempat, jika ada isyarat yang jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah, fungsi lembaga legislatif ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah yang sama yang tentunya harus sesuai dengan hukum Islam; Kelima, jika Al-Qur’an dan sunnah tidak memberikan pedoman atau masalah itu tidak ada dalam konvensi Khulafa al-Rasyidin, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik.
Keempat, badan Qadhi (badan Yudikatif)
Badan Qadhi (hakim) menurut al-Maudûdî haruslah merupakan badan yang independen. Penentuan anggota badan Qadhi berbeda dengan badan Ahl al-Hall wa al-‘Aqd, ia langsung ditentukan oleh amîr sendiri, akan tetapi penunjukannya secara langsung dilakukan oleh amîr, badan ini tidak dapat dipengaruhi oleh amîr dan juga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd.
Tugas badan ini adalah menentukan status hukum, memeriksa dan menguji peraturan-peraturan yang diduga bertentangan dengan syarî’at. Badan ini bisa dikatakan telah mendapatkan mandat dari amîr untuk menentukan status hukum, dan jika bertentangan dengan syarî’at, badan ini secara kuasa penuh dapat membatalkan dan menggantinya dengan hukum baru.
Menarik jika melihat penjelasan di atas bahwa posisi amîr adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, akan tetapi di dalam penentuan hukum, ia telah memberikan hak kuasa penuh terhadap Qadhi. Hal ini bisa diartikan bahwa posisi Qadhi bisa lebih tinggi dari amîr sendiri dalam hal penentuan hukum. Konsep dasar setruktur pemerintahan yang dirancang oleh al-Maudûdî nampaknya adalah konsep yang idealistis, bahkan bisa dikatakan utopis. Konsep ini tidak realistis dan sulit untuk diwujudkan dalam dunia nyata sekarang ini. Kondisi ini ternyata disadari oleh al-Maudûdî sendiri dalam bukunya, ia mengatakan konsep yang dirancangnya akan terealisasi secara maksimal jika semua masyarakat telah terdidik dengan ajaran-ajaran Islam yang revolusioner.
d. Cara Pemilihan Kepala Negara
Perkara yang paling asasi ditekankan oleh Al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam proses mewujudkan dan melahirkan pemerintahan Islam adalah “soal kepemimpinan”. Karena pentingnya masalah ini sehingga para ulama klasik menulis secara khusus tema ini dalam berbagai karyanya.
Permasalahan ini pertama kali dipicu oleh siapa yang pantas menjadi pengganti Nabi Muhammad Saw. Kalangan Syî’ah meyakini bahwa sebenarnya Nabi telah menunjuk ‘Alî ra sebagai penggantinya. Berbeda dengan kalangan Syî’ah, kalangan Sunni mengatakan bahwa pernyataan kalangan Syi’ah tersebut tidak masuk akal. Al-Bâqillânî yang mewakili ulama Sunni membantah pernyataan kalangan Syî’ah tersebut. Ia mengatakan bahwa tidak ada orang yang mengetahui tentang penunjukan ‘Alî oleh Nabi untuk memangku jabatan imam. Ia juga mengatakan bahwa terpilihnya Abû Bakar sebagai pengganti Nabi untuk menjadi Khalîfah di pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah adalah merupakan konsensus umat Islam, karena itu, kepercayaan kalangan Syî’ah sebagai suatu hal yang palsu. Atas dasar itu, maka al-Bâqillânî menetapkan bahwa pemilihan seorang pemimpin adalah melalui pemilihan (al-Ikhtiyar) oleh Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Menurutnya pemilihan pemimpin akan dikatakan sah meskipun dilakukan oleh seorang dari Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Setelah kepala negara terpilih, maka seluruh kaum Muslimin harus hadir untuk memberikan bai’at kepada imam yang terpilih tersebut. Ulama lain yang juga menguraikan masalah kepemimpinan adalah al-Mâwardî dalam kitabnya “al-Ahkâm al-Sulthaniyyah”, Abu Ya’la dalam kitabnya “al-Ahkâm al-Sulthaniyyah”, Ibn Taimîyah dalam kitabnya “al-Siyasah al-Syar’iyyah”.
Ulama lainnya yang mempunyai konsep prihal pola pengangkatan pemimpin negara dalam Islam adalah al-Maudûdî. Menurutnya bahwa hakim sebenarnya adalah Allâh. Pendapat al-Maudûdî ini didasari dari pemahamannya atas Al-Qur’an (QS:An-Nuur: 24: 55). Ayat ini menururt al-Maudûdî menjelaskan secara jelas tentang teori negara dalam pandangan Islam. Dalam teori tersebut Allâh mengemukakan dua konsep makro atau dua prinsip mendasar: Pertama, dalam kepemimpinan Islam digunakan terminologi “khilâfah”. Yang menarik dari pemikiran al-Maudûdî adalah elaborasi atas beberapa istilah terkait dengan kepemimpinan. Dalam hal kepemimpinan dalam Islam, al-Maudûdî memakai istilah khilâfah sebagai pengganti istilah “Hakimiyah”. Menurutnya, istilah “hakim” hanyalah untuk Allâh. Oleh karena itu setiap penguasa di bumi, meskipun di bawah undang-undang Islam, untuk selanjutnya disebut khalîfah (wakil) Hakim Tertinggi yakni Allâh. Peran khalîfah di bumi berada di bawah kendali Allâh karena tidak seorang pun menguasainya, kecuali Allâh.
Kedua, Allâh telah menjanjikan orang-orang yang mukmin tentang pengangkatan khalîfah, tetapi Dia tidak mengatakan hendak mengangkat seorang khalîfah dari salah satu di antara mereka .Secara eksplisit menurut al-Maudûdî hal ini menunjukkan bahwa seluruh mukmin adalah khalîfah Allâh. Mereka bertanggung jawab kepada Allâh dalam kaitannya sebagai khalîfah.
Dengan sandaran ayat di atas, al-Maudûdî mengatakan bahwa kekhalifahan yang dijanjikan oleh Allâh bersifat universal dan tidak terbatas hanya pada individu atau sekelompok orang. Jika melihat pendapat al-Maudûdî di atas, hampir sama dengan doktrin Khawârij yang mengatakan bahwa setiap Muslim dari kalangan manapun berhak untuk menjadi kepala negara.
Dalam mekanisme pengangkatan seorang pemimpin negara, al-Maudûdî mencontoh apa yang telah diperaktekkan pada masa Khulafâ al-Rasyidîn yang melakukan model pemilihan secara terbuka. Model pengangkatan pemimpin negara pada masa Khulafâ al-Rasyidîn adalah model pemilihan yang paling ideal. Realita sejarah pada masa Khulafâ al-Rasyidîn oleh al-Maudûdî digunakan untuk merumuskan mekanisme pemilihan kepala negara yang menurutnya sesuai dengan ajaran Islam sebagai berikut; Pertama, dalam negara Islam, pemilihan kepala negara sepenuhnya bergantung kepada masyarakat umum, dan tidak seorang pun berhak untuk mengangkat diri dengan paksaan atau kekerasan sebagai Amîr. Kedua, tidak ada satu klan atau suatu kelompok pun yang memonopoli jabatan. Ketiga, pemilihan harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum Muslim dan tanpa adanya pemaksaan atau ancaman.
Menarik membicarakan poin nomor pertama di atas yang mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak boleh mencalonkan dirinya sendiri. Al-Maudûdî mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada arena buat pencalonan atau perebutan kedudukan, apalagi dengan menggunakan kampanye-kampanye pemilihan. Hal ini tidak sesuai dengan pemikiran dan pandangan Islam. Tidak hanya itu, al-Maudûdî melengkapinya dengan konsekuensi hukum jika terjadi hal di atas yakni perebutan kekuasaan. Menurutnya jika di negara Islam ditemukan orang yang melakukan praktek semacam itu, maka ia akan dibawa ke meja hijau dan akan menerima hukuman yang berat. Konsep yang ditawarkan oleh al-Maudûdî ini terlihat sangat utopis dan tidak realistis bahkan di negara Pakistan saat itu yang sudah memakai sistem kepartaian yang memilih kepala negara dengan sistem pencalonan.
e. Kriteria Kepala Negara
Al-Maudûdî tidak hanya menguraikan pentingnya seorang pemimpin dalam negara Islam, ia juga menguraikan beberapa kriteria untuk menjadi seorang pemimpin dalam negara Islam. Sebelum membahas lebih jauh tentang kriteria pemimpin negara yang disyaratkan oleh al-Maudûdî, terlebih dahulu akan diuraikan kriteria pemimpin negara menurut beberapa pemikir yang berkembang di dunia Islam.
Menurut al-Bâqillânî salah seorang ulama Sunni bahwa syarat kepala negara haruslah berilmu pengetahuan yang luas. Hal ini sangat diperlukan karena dengan pengetahuan yang luas ia akan dapat melihat apakah keputusan yang diambil oleh hakim negara sesuai dengan syarî’at atau tidak. Syarat seorang kepala negara lainnya adalah harus mempunyai sifat adil dalam segala urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Di samping syarat di atas, al-Bâqillânî mengatakan bahwa syarat kepala negara haruslah dari suku Quraisy. Menurut J. Suyuthi Pulungan bahwa persyaratan yang terakhir di atas adalah bentuk penolakan al-Bâqillânî terhadap doktrin Khawârij yang mengatakan bahwa setiap Muslim dari kalangan manapun berhak untuk menjadi kepala negara, di samping penolakannya terhadap Syî’ah yang mengatakan bahwa kepala negara terbatas pada keturunan ‘Alî.
Hampir sama dengan apa yang diungkapkan oleh al-Bâqillânî di atas, al-Bagdadi mengatakan bahwa syarat seorang kepala negara adalah: Pertama, berilmu pengetahuan, syarat ini diperlukan untuk dapat mengetahui apakah undang-undang yang telah dibuat oleh para mujtahid sesuai dengan hukum agama. Kedua, bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan tugas administrasi. Ketiga, bersifat jujur dan shaleh. Keempat, berasal dari suku Quraisy.
Berbeda dengan kedua ulama di atas, Ibn Abi Rabi’ menentukan syarat-syarat kepala negara dengan lebih melihat dari sisi kekuatan dan keturunan sebagai berikut: pertama, kebapaan dan berasal dari keluarga raja; Kedua, bercita-cita besar, cita-cita ini bisa diperoleh dari pendidikan dan akhlak; Ketiga, berpandangan kokoh. Sifat ini dapat diperoleh dengan meneliti dan mempelajari kehidupan orang terdahulu dan pengalamanan hidup mereka; Keempat, tangguh dalam menghadapi kesukaran dengan keberanian dan kekuatan; Kelima, memiliki harta banyak; Keenam, memiliki pembantu-pembantu dengan loyalitas tinggi.
Berbeda dengan beberapa pandangan ulama di atas, Imam al-Juwaini mensyaratkan kepala negara dengan menitikberatkan pada sisi kemampuan berfikir. Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas oleh Plato dahulu. Imam al-Juwaini mengatakan bahwa pemimpin negara haruslah seorang mujtahîd, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat memeliharanya, mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan, memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin, memiliki sifat lemah lembut, tegas dalam menjalankan hukum, seorang laki-laki yang merdeka. Yang menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin negara dari keturunan Quraisy. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak.
Berbeda dengan gurunya di atas, al-Ghazâlî dalam hal penentuan syarat untuk menjadi seorang pemimpin negara, mengajukan sepuluh syarat yang harus dipenuhi: haruslah seorang laki-laki, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka, sehat, punya kekuasaan nyata, memiliki kemampuan, wara’, berilmu, dan haruslah bersuku Quraisy.
Menurut Ibn Taimîyah, bahwa orang yang pantas untuk menjadi pemimpin adalah harus mempunyai kualifikasi kekuatan dan integritas. Hal ini didasarkan atas petunjuk Al-Qur’ân surat al-Qashash, ayat 26, yang mengatakan bahwa orang yang terbaik untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dipercaya (amanah). Dalam hal syarat menjadi seorang pemimpin, Ibn Taimîyah tidak mensyaratkan harus dari suku Quraisy. Hal ini menurutnya bahwa pernyataan itu adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh kalangan ulama, maka syarat itu tidak mungkin ditetapkan. Bahkan menurutnya, pendapat bahwa harus dari suku Quraisy adalah pendapat yang bertentangan dengan konsep persamaan yang digagas oleh Al-Qur’ân sendiri dalam surat al-Hujurat ayat 13. Jadi, meskipun pendapat itu berdasarkan hadîts, akan tetapi bertentangan dengan nash Al-Qur’ân sendiri.
Al-Mâwardî dalam kitab “Adâb al-Dunya” mengatakan bahwa seorang pemimpin negara haruslah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, bersifat adil (al-adalah). Kedua, berpengetahuan (al-alim). Ketiga, memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna. Keempat, mempunyai kondisi fisik yang sehat yang menjamin pergerakan tubuhnya secara bebas. Kelima, memiliki kebijakan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum. Keenam, memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk mempertahankannya dari serangan musuh. Ketujuh, berasal dari keturunan Quraisy.
Dalam hal kriteria pemimpin negara dalam Islam, al-Maudûdî mensyaratkan seorang khalîfah sebagai berikut: Pertama, ia harus seorang Muslim, kriteria ini menurutnya sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’ân. (QS: An-Nisaa’: 4: 59) Dengan pemahaman atas ayat ini, al-Maudûdî tidak memberikan hak kepada non-Muslim untuk menjadi kepala negara yang memimpin umat Islam. Kedua, ia haruslah seorang laki-laki, syarat ini pun dijelaskan sebagaimana ayat al-Qur’ân. (QS: An-Nisaa’ : 4: 34). Ketiga, seorang pemimpin negara haruslah dalam keadaan waras dan dewasa. Syarat ini dijelaskan dalam ayat al-Qur’ân (QS: An-Nisaa’ : 4: 5). Keempat, seorang pemimpin negara harus merupakan warga dari negara Islam. Syarat keempat yang diacu oleh al-Maudûdî berdasarkan keterangan ayat al-Qur’ân (QS: Al-Anfal : 72).
Jika dilakukan analisa atas persyaratan yang diajukan oleh al-Maudûdî, persyaratan yang keempat ini hampir sama dengan persyaratan nomor pertama di atas, ia tidak memberikan hak kepada warga non-Muslim untuk memimpin negara Islam meskipun ia mempunyai kualitas sebagai seorang pemimpin. Jika kita bandingkan dengan pendapat al-Maudûdî sebelumnya yang mengatakan bahwa masing-masing manusia mempunyai peluang dan kedudukan yang sama dan tidak ada perbedaan untuk menjadi seorang khalîfah di muka bumi ini, terlihat bahwa kata-kata al-Maudûdî ini tidak konsisten atau bertolak belakang dengan kata-kata sebelumnya. Di samping syarat-syarat di atas, al-Maudûdî juga memberikan syarat-syarat seorang pemimpin negara yang harus dipilih dan kriteria yang tidak boleh dipilih dengan merujuk beberapa ayat-ayat al-Qur’ân. Di antara syarat tersebut adalah: bersifat amanat, adil, bertakwa, berilmu luas.
Menarik untuk dicermati ketentuan yang ditetapkan oleh al-Maudûdî perihal syarat-syarat kepala negara tidak dimasukkan keturunan Quraisy sebagai syarat menjadi seorang pemimpin negara meskipun telah jelas dinyatakan dalam hadîts Nabi. Dalam karyanya al-Maudûdî tidak memberikan alasan mengapa ia tidak mencantumkan syarat kepala negara dari suku Quraisy padahal syarat tersebut telah disepakati oleh mayoritas ulama sunni. Di sini nampaknya al-Maudûdî menyadari bahwa persyaratan harus dari suku Quraisy sudah tidak realistis lagi di masa modern saat ini. Di samping itu tidak begitu penting untuk diterapkan pada masanya mengingat sudah begitu jauh jarak waktu yang memisahkan, dengan demikian sangatlah sulit untuk mendeteksi apakah ia betul berasal dari suku Quraisy atau bukan. Alasan lain adalah tidak pastinya disetiap negara termasuk di Pakistan sendiri berada suku Quraisy mengingat saat ini umat Islam tersebar diseluruh dunia bukan hanya di Arab saja, tambahan lagi mengingat alasan yang diutarakan oleh Ibn Taimîyah di atas yakni permasalahan keharusan dari suku Quraisy termasuk permasalahan yang masih diperdebatkan. Pemikiran al-Maudûdî tentang tidak dimasukannya syarat pemimpin harus dari suku Quraisy menjadikan ia seorang intelektual Islam pertama dari kalangan pemikira Islam modern yang secara tegas menolak ketentuan syarat dari suku Quraisy sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama klasik.
Sisi menarik lain yang diutarakan oleh al-Maudûdî adalah perihal syarat jenis kelamin yakni harus laki-laki yang berhak menjadi pemimpin negara. Syarat ketentuan harus laki-laki ini sama dengan apa yang disampaikan oleh al-Ghazâlî di atas. Syarat ini sama dengan syarat yang diberlakukan oleh al-Maudûdî ketika pemilihan seorang Amîr dalam Jamâ'ati Islâmî. Dari sini terlihat bahwa setatus seorang laki-laki di dalam syarat menjadi seorang pemimpin adalah syarat yang tidak bisa ditawar-tawar karena telah jelas dikatakan dalam Al-Qur’ân (QS: An-Nisaa’ : 4: 34).
Menarik membincangan syarat laki-laki bagi seorang pemimpin negara. Jika kita mengutip pendapat al-Maudûdî sebelumnya bahwa hak khalifah adalah milik semua manusia, apa pun bangsaya, karena dalam Islam tidak ada sistem diskriminasi, baik itu dari segi keturunan, status sosial maupun latar belakang ekonomi. Ketika mensyaratkan seorang pemimpin harus-lah laki-laki, maka menurut hemat penulis al-Maudûdî lagi-lagi terlihat tidak konsisten dalam berpendapat. Bukankah Al-Qur’ân sendiri mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada yang lebih baik di mata Allâh kecuali mereka yang bertakwa (laki-laki dan perempuan). Tidak hanya itu, dalam kehidupan politik, sosoial, budaya, ekonomi, laki-laki dan perempaun masing-masing memikul tangung jawab sama, bergandengan tangan dan bahu membahu sebagai mitra sejajar. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an: (Q.S. at-Taubah: 71).
Menarik mengelaborasi lebih lanjut syarat seorang pemimpin negara Islam menurut al-Maudûdî yakni harus laki-laki dengan argumentasi merujuk pada (QS: An-Nisaa’: 34). Dalam memahami ayat ini al-Maudûdî tidak melihat pesan substansi ayat ini dengan memahmi sebab-sebab turunnya. Menurut Imam Abul Hasân Ali ibn Ahmad al-Wahidi (w.468 H), asbabun-nuzul atau sebab-sebab turun ayat ini bermula dari kisah Sa’ad ibn Rabi’, seorang pembesar golongan Anshar dari Madinah, bahwa isterinya, Habibah binti Zaid ibn Abi Hurairah, telah berbuat nusyuz (durhaka atau menentang keinginan Sa’ad untuk bersetubuh). Karena perbuatannya itu, ia pun ditampar oleh suaminya. Habibah kemudian mengadukan masalahnya ini kepada Nabi Saw. Nabi kemudian memutuskan untuk men-qishash (membalas dengan sanksi serupa dengan perbuatannya) terhadap Sa’ad. Tetapi begitu qishash akan dilakukan, Nabi memanggil pasangan suami-istri tersebut seraya mengabarkan ayat yang baru turun melalui Jibril, Nabi kemudian membatalkan perintah qishash terhadap Sa’ad. Dari sini dapat dipahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan perempuan di luar “urusan ranjang” jelas memiliki validitas yang lemah. Ayat tersebut juga bukan berupa kalimat instruksi (‘amar), namun hanya bersifat khabariah (berita), sehingga akurasi soal hukum wajib atau haramnya ternyata kurang efektif. Pelarangan seorang pemimpin perempuan kerap kali didukung dengan argumentasi hadîts sahih yang diriwayatkan oleh Imâm Bukhari yang artinya “tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa) kepada seorang perempuan”.
Jika kita memperhatikan apa yang diungkapkan oleh al-Maudûdî di atas perihal syarat pemimpin negara harus laki-laki dan berupaya mengelaborasi argumentasinya, nampaknya al-Maudûdî dalam memahami QS: An-Nisa: 4: 34, tidak memahami nilai substansi pesan dari ayat tersebut. Ia hanya memahami ayat tersebut secara tekstual bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan tidak hanya dalam sudut keluarga melainkan juga dalam memimpin negara dan melupakan pemahaman substansi turunnya ayat tersebut.
Pendapat al-Maudûdî tentang pelarangan perempuan menjadi pemimpin negara dengan argumentasi teks al-Qur’ân, semakin membuktikan tidak konsistennya dalam berfikir ketika ia pada pemilihan umum Pakistan tahun 1964 terlihat mendukung seorang calon Presiden wanita yakni Miss Fatimah Jinnah dalam melawan Jenderal Ayyub Khan.
Dalam sejarah perkembangan politik Pakistan, nama Jenderal Ayyub Khan adalah salah seorang tokoh yang cukup berpengaruh dan memberikan warna tersendiri di Pakistan. Ketika pada pemilu tahun 1958, partai Jamâ'ati Islâmî yang dikomandoi oleh al-Maudûdî mempunyai peluang besar untuk memenangkan pemilu tersebut, ternyata dianggap membahayakan, sehingga sebelum pemilu dilaksanakan, tentara Pakistan yang dikomandoi oleh Jenderal Ayyub Khan mengambil alih komando negara (kudeta tak berdarah). Presiden Pakistan saat itu Iskandar Mirza mengeluarkan dekrit membubarkan Parlemen dan seluruh partai yang ada di negara itu, termasuk di dalamnya partai Jamâ'ati Islâmî pada tanggal 3 September 1958. Setelah empat tahun dari pembubaran partai, tepatnya pada tahun 1962, ketika Jenderal Ayyub Khan menjadi Presiden Pakistan, partai Jamâ'ati Islâmî dihidupkan kembali. Tidak hanya itu, ia pun menghapuskan undang-undang darurat militer dan mengizinkan pembentukan kembali partai-partai politik lainnya.
Melihat peta politik Pakistan saat itu, kemudian dikaitkan dengan dukungan al-Maudûdî terhadap salah seorang calon presiden wanita yakni Miss Fatimah Jinâh, nampaknya al-Maudûdî begitu kecewa terhadap Jenderal Ayyub Khan yang melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah dan pada akhirnya menyebabkan pembubaran partai Jamâ'ati Islâmî oleh pemerintah itu sendiri. Dengan dukungan al-Maudûdî dan Jamâ'ati Islâmî, calon presiden Miss Fatimah Jinnah diharapkan dapat menyaingi dan mengalahkan Jenderal Ayyub Khan yang sedang berkuasa saat itu yang tentunya sebagai imbalan atas dukungannya partai Jamâ'ati Islâmî akan menancapkan pengaruhnya di Pakistan. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa meskipun pada awalnya al-Maudûdî menolak kepemimpinan kaum perempuan, akan tetapi, ketika realita politik merugikan diri dan partainya, maka ia dengan terang-terangan menyalahi atau “menjual” komitmen sebelumnya bahwa kaum perempuan tidak berhak untuk duduk dalam posisi pemimpin terlebih pemimpin negara dengan alasan bertentangan dengan petunjuk kitab suci al-Qur’ân.
e. Tujuan Pembentukan Negara Islam
Terkait dengan tujuan dibentuknya sebuah negara, para ulama memberikan berbagai pendapat yang bisa kita lihat dalam berbagai kitab-kitab klasik. Al-Bâqillâni misalnya mengatakan bahwa tujuan pembentukkan negara adalah untuk menegakkan hukum yang telah ditetapkan, membela umat dari gangguan musuh, melenyapkan penindasan dan menghilangkan keresahan masyarakat, meratakan penghasilan negara bagi rakyat dan mengatur perjalanan haji dengan baik, dan melaksanakan syarî’at yang dibebankan kepadanya. Singkatnya tugas negara menurutnya adalah segala yang berkaitan dengan kepentingan umum harus sesuai dengan syarî’at.
Al-Bagdadi dalam merumuskan tujuan pembentukan negara lebih menyoroti pada masalah aturan hukum dan penerapannya. Ia berpendapat bahwa tujuan pembentukkan negara adalah melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan hukuman bagi pelanggar hukum, mengatur militer, mengelola pajak dan mengurus lembaga perkawinan.
Berbeda dengan pendapat di atas, al-Mâwardî menguraikan tujuan pembentukan negara dengan lebih sistematis. Ia mengatakan bahwa tujuan pembentukkan negara adalah; Pertama, mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijmâ’ oleh salaf (generasi pertama umat Islam). Kedua, melaksanakan kepastian hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang universal antara penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik jiwa maupun harta. Keempat, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan. Kelima, membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. Keenam, jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash dan ijtihâd. Kedelapan, mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif. Kesembilan, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya. Kesepuluh, dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
Tidak hanya ulama klasik di atas yang mengungkapkan konsep tujuan pembentukan negara. Ulama kontemporer seperti Fazlur Rahman juga ikut menyumbangkan gagasannya. Menurutnya, tujuan pembentukan negara Islam adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga setiap warganya menyadari kemampuan masing-masing dan mau menyumbangkan kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara.
Pernyataan tentang pentingnya sebuah negara untuk menjalankan syarî’at Islam secara total lebih ditegaskan jika melihat dari tujuan pembentukan negara yang digagas oleh al-Maudûdî. Dalam hal merumuskan tujuan pembentukan negara, ia mendasari konsepnya dengan argumentasi dari teks-teks Al-Qur’ân (QS: al-Hadîd: 57: 25.
Menurut al-Maudûdî, ungkapan “Al-Hadîd” (besi) yang tertera dalam ayat di atas adalah sebagai lambang kekuasaan politik. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa misi para Rasul adalah menciptakan kondisi yang di dalamnya rakyat akan dapat dijamin keadilan sosialnya sejalan dengan norma-norma yang telah dicanangkan dalam Al-Qur’ân yang memberikan perintah-perintah yang jelas untuk mencapai kehidupan yang benar-benar disiplin. Ayat ini menerangkan misi Rasulullâh di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allâh, yakni sistem keadilan sosial atas dasar Al-Qur’ân dan Sunnah.
Menurut al-Maudûdî bahwa tujuan negara yang dikonsepsikan oleh Al-Qur’ân tidaklah negatif, tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras melainkan untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan yang telah diketengahkan Allâh dalam al-Qur’ân. Untuk merealisasikan tujuan ini, maka menurut al-Maudûdî kekuasaan politik akan digunakan demi kepentingan itu dan bilamana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasif damai akan digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial maupun pendapat umum akan dijinakkan.
Uraian al-Maudûdî di atas dapat dipahami bahwa tujuan pembentukan negara menurutnya adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kedzaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan seperti yang telah banyak disebutkan oleh Allâh dalam kitab suci. Tujuan pembentukan Negara Islam menurut al-Maudûdî juga diisyaratkan oleh Al-Qur’ân (QS Al-Hajj : 22: 41).
Menegakkan sistem berkenaan dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat melalui segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah, yakni sistem yang membentuk sudut terpenting dalam kehidupan Islam; agar negara menyebarkan kebaikan dan kebajikan dan memerintahkan yang ma’ruf, sebagai tujuan utama kedatangan Islam ke dunia, dan agar negara memotong akar-akar kejahatan, mencegah kemungkaran yang merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allâh Swt.
Ayat di atas menurut al-Maudûdî menggemakan suatu negara Islam dan ciri khas dari para penguasa dan pengatur negara. Satu ayat ini saja cukup menurutnya untuk memberikan suatu gagasan mengenai hakikat dan sasaran suatu negara Islam. Rahmat dan pertolongan Tuhan diperuntukan bagi orang-orang yang jika diberi kekuatan, akan bertindak sebagai berkut: Pertama, Dalam kehidupan pribadi mereka, mereka menganut cara hidup yang saleh dan taat. Karakter mereka bebas dari kotoran dosa, ketidaktaatan kepada Tuhan, keputusasaan dan pembangkangan. Mereka berprilaku laksana kesatria sejati, menegakkan shalat bagi Tuhannya, rendah hati dan menegakkan sistem shalat dalam kehidupan kelompok rakyat. Kedua, Kekayaan dan sumber daya mereka tidak digunakan untuk menghamburkan nafsu atau bermewah diri. Sebaliknya, mereka menegakkan pranata zakat serta mengorganisasikan pranata zakat sehingga kemakmuran masyarakat dapat di bagikan secara merata dan negara dapat memenuhi fungsinya sebagai penyelenggara kemakmuran. Ketiga, Mereka menggunakan kekuasaan negara untuk membasmi kemungkaran dan dosa serta untuk menggalakan dan menegakkan kebajikan dan kebaikan. Inilah menurut al-Maudûdî tujuan Negara Islam. Melengkapi tujuan negara di atas, al-Maudûdî menambahkan bahwa tujuan negara Islam juga dijelaskan dalam (QS: Ali Imran: 3: 110).
Jika ayat ini direnungkan maka akan semakin mendapat kejelasan bahwa negara yang digambarkan oleh Al-Qur’ân bukan hanya negara yang bertujuan untuk mencegah hal-hal yang negatif saja, akan tetapi juga menghendaki sebuah negara yang berjalan dengan rencana yang positif.
Dari pernyataan al-Maudûdî di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok berdirinya negara Islam adalah melaksanakan sistem keadilan sosial yang baik, seperti yang diperintahkan Allâh dalam kitab-Nya, di samping itu juga menawarkan konsep-konsep maslahat yang diridhai oleh Allâh. Untuk mengokohkan tujuan tersebut, maka dibutuhkan suatu kekuatan politik di samping kekuatan lainnya seperti lewat mimbar-mimbar dakwah dan tabligh terhadap masyarakat umum, dibutuhkan juga media-media pendidikan dan pengajaran secara strategis.
Dari argumentasi teks Al-Qur’ân di atas, al-Maudûdî menegaskan bahwa kejahatan yang tidak dapat dimusnahkan melalui ajaran-ajaran Al-Qur’ân membutuhkan kekuasaan memaksa dari pihak negara untuk melakukan pembasmian. Ini berarti bahwa tujuan negara dalam Islam menurutnya adalah untuk mengukuhkan sekaligus menegakkan dan melaksanakan kekuasaannya dengan segenap sumber daya yang ada untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi perbaikan kehidupan manusia.
Dari uraian al-Maudûdî dapat dipahami bahwa tujuan pembentukan negara yang di gagas oleh al-Maudûdî tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh para ulama sebelumnya di atas yakni sebagai alat untuk mengaplikasikan ajaran Islam dalam dunia nyata. Hanya saja yang berbeda dengan ulama lainnya adalah, al-Maudûdî merasa perlu gagasan-gagasannya di suarakan bukan hanya oleh dirinya sendiri melainkan juga harus didukung oleh masyarakat luas. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar al-Maudûdî dalam mendirikan partai Jamâ'ati Islâmî yang kemudian menjadi partai sebagai alat perjuangan al-Maudûdî di Pakistan. Nampaknya di sini terlihat al-Maudûdî sangat realistis di dalam memperjuangkan gagasannya, karena ia sadar bahwa perjuangan yang hanya mengandalkan dari segi gagasan-gagasan secara individual dan teoritis tanpa didukung oleh pengalaman nyata dan didukung oleh golongan terdidik yang punya peduli dalam mendirikan negara Islam akan sia-sia dan sulit terealisasi dengan cepat di Pakistan. Tidak hanya itu, nampaknya juga al-Maudûdî menyadari akan begitu kuatnya pengaruh para intelektual Islam yang berada dilingkungan Liga Muslim yang menurutnya berideologi sekular dan membahayakan negara Pakistan di kemudian kelak. Karena alasan inilah maka al-Maudûdî merasa penting untuk membuat lembaga atau organisasi tandingan dari Liga Muslim di dalam menyuarakan aspirasi umat Islam Pakistan khususnya terkait dengan pembentukan negara Islam. Akan tetapi sangat disayangkan, cita-cita al-Maudûdî tidak berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini terjadi karena partai Jamâ'ati Islâmî cenderung lebih ekslusif dan menetapkan syarat-syarat keanggotaan yang begitu ketat dan sulit untuk diikuti oleh masyarakat luas apalagi mereka yang awam agama. Karena alasan ini-lah maka partai Jamâ'ati Islâmî semenjak didirikannya tak pernah memenangi pemilu di Pakistan, hanya pada masa rezim Zia-ul Haq, program partai ini sedikit terakomodasi.
D. KESIMPULAN
Dari uraian di atas terkait dengan pemikiran al-Maudûdî tentang konsep negara, maka ada beberapa kesimpulan penting yang dapat di tarik sesuai dengan pokok permasalahan; Pertama, Al-Maudûdî tidak pernah menolak mendirikan sebuah negara Islam, meskipun pada masa hidupnya ia pernah mengeluarkan pernyataan penolakan yang dituangkan dalam Tarjuman Al-Qur’ân terhadap gagasan pendirian negara Islam yang diajukan oleh Liga Muslim. Sebaliknya, al-Maudûdî adalah pejuang yang gigih dalam mewujudkan sebuah negara Islam yang tentunya dengan berlandaskan aturan Al-Qur’an dan Hadits. Bukti kesungguhan al-Maudûdî terlihat dari begitu komprehensifnya ia dalam merancang sebuah kerangka aturan negara Islam. Kesungguhan al-Maudûdî di dalam usaha mendirikan negara Islam adalah sebagai alat untuk menjalankan syari’at Islam secara total dalam dunia nyata sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya, ketidaksetujuan al-Maudûdî atas rencana Liga Muslim lebih pada alasan cara-cara yang digunakan oleh Liga Muslim, yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, bukan pada tujuannya yakni mendirikan negara Islam. Kedua, Al-Maudûdî pada dasarnya menyetujui apa-pun bentuk atau model sebuah negara, yang penting baginya adalah jenis kedaulatan yang dianut yakni harus menganut kedaulatan Tuhan (teo-demokrasi) sebagai ciri sebuah negara dikatakan Islami dan tidak—seperti model negara republik pada umumnya yang berkembang di dunia Barat yang memakai sistem kedaulatan rakyat atau demokrasi; Ketiga, Dalam hal pola pengaturan negara, al-Maudûdî menentukan pola struktur pemerintahan sebagai berikut; a). Amîr (Kepala negara). Amîr adalah pemegang kekuasaan tertinggi baik dalam pemerintah maupun dalam urusan agama. b). Lembaga eksekutif. Tugas dari lembaga ini adalah menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan Sunnah serta menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman yang telah ditetapkan untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. c). Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Dalam konsepsi al-Maudûdî, Ahl al-Hall wa al-‘Aqd tidak-lah sama dengan konsep yang ada dalam teori Trias Politica. Konsepsi Ahl al-Hall wa al-‘Aqd lebih dekat pada Majelis Syûrâ dan fungsi utamanya adalah sebagai tempat konsultasi. Keempat, adalah badan Qadhi. Penentuan anggota badan Qadhi berbeda dengan badan Ahl al-Hall wa al-‘Aqd, ia langsung ditentukan oleh Amîr sendiri. Meskipun penunjukannya secara langsung dilakukan oleh Amîr, badan ini tidak dapat dipengaruhi oleh Amîr dan juga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Keempat, Dalam hal syarat-syarat menjadi seorang pemimpin negara, al-Maudûdî tidak mensyaratkan harus berasal dari suku Quraisy. Pemikiran al-Maudûdî tentang tidak dimasukannya syarat pemimpin harus dari suku Quraisy menjadikan ia seorang intelektual Islam pertama dari kalangan pemikira Islam modern yang secara tegas menolak ketentuan syarat dari suku Quraisy sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama klasik. Kelima, Model pemerintahan menurut al-Maudûdî yang paling sesuai dengan konsep Islam adalah model pemerintahan al-Khulafâu al-Rasyidîn, karena sesuai dengan apa yang ada dalam konsep Al-Qur’an. Karena alasan inilah, maka al-Maudûdî menetapkan model al-Khulafâu al-Rasyidîn sebagai acuan dalam mendirikan negara Islam Pakistan;
Dari beberapa kesimpulan di atas, jelaslah bahwa sebenarnya al-Maudûdî adalah seorang pejuang negara Islam yang gigih. Negara Islam yang diinginkan olehnya adalah sebuah negara dengan menjalankan syari’at Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak bersifat semu, apalagi hanya sebagai topeng belaka, jika kemudian ditemukan ada beberapa hal terkait dengan pemikirannya yang tidak konsisten, maka itu semata-mata hanya sifatnya terkait dengan kepentingan politik sesaat demi mewujudkan penerapan syariat Islam secara utuh di Pakistan.Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Charle J, Maudûdî dan Negara Islam, dalam John L Espositi (ed), Dinamika Kebangunan Islam; Watak, Proses, dan Tantangan, Jakarta: Rajawali Pers, 1999
Ahmad, Abd al-‘Athi Muhammad, Al-Fikr al-Siyasi li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Mesir: Al-Haiat al-Mishriyat al-‘Ammat li al-Kitâb, 1978
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, Cet. II, 1995
Al-Anshari, Abdul Hamid Isma’il, Al- Syûrâ wa Atsaruhu fî al-Dinuqrathiyah, Kairo: Mathba’ah al-Salafiyah, 1980
Azra, Azyumardi, “Jihad dan Revolusi Islam; Pandangan Al-Maudûdî”, dalam buku “Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, Jakarta: Paramadina, 1996
Bahri, Media Zaenul, “Tarekat Chistiyah; Tarekat Terkenal di India” dalam Sri Mulyati (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana, Jakarta, Cet. II, 2005
Baqi, Fuad Abdul, al-Mu’jam al-Mufahras li-Alfâzhil Qur’ân al-Karîm, Beirut: Darul Fikr, 199
Brown, L. Carl, Religion and State; The Muslim Approach to Politic, New York: Columbia University Press, 2000
Douglas, Ian Henderson, Abû Kalâm Azâd: An Intellectual and Religious Biography. Disunting oleh Gail Minault dan Christian W. Troll, New Delhi, 1988
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1981
Esposito, John L, John L, Unholy War, Penj. Arif Maftuhin, Yogyakarta: LKiS, 2003
Faruki, Ziya ul-Hasan, The Deoband School and the Demand For Pakistan, Lahore: Progressive Books, 1980
Hamid, Tijani Abdul Qadir, Pemikiran Politik Dalam al-Qur’an, penj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age, London: Oxford University Press, 1962
Hughes, Thomas Patrick, Dictionary of Islam, New Delhi: Oriental Books Print Corporation, 1976
Ibn Khaldûn, Al-Muqaddimah, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ibn Manzur, Lisân al’Arab, Bairut: Dâr al-Shadr, 1968
Ibn Taimîyah, Al-Siyasat al-Syar’iyat fî Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyat , (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyat, 1966), hal. 15.
Ibrahm, Samir Abdul Hamid, Teladan Bagi Generasi Pejuang, Penj. Fathurrahman Hamid, Jakarta: Pustaka Qalami, 2004
Idris, Ahmad, Abû al-A’lâ al-Maudûdî; Sahafatun min Hayatihi wa Jihadihi, cet. 1, al-Qahirah; al-Muktar al-Islami, 1979
Jamilah, Maryam, Who is Maudoodi, Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983
Al-Juwaini, Al-Irsyad Ila Qawathi’i al-Adillat fi Ushul al-I’tiqad, Mishr: Maktabat al-Khanji, 1950
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, penj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983
Khomeini, Ringkasan Biografi, Pidato-pidato dan Wasiat Imam Khomeini, Jakarta: Kedutaan Besar Iran, 1989
Khursyid, Ibrahim Zaki (ed), Dairat al-Ma’arif al-Islamiyat, t.t.p., .t.t
Lambton, Ann KS, State and Government in Medieval Islam, London: Oxford University Press, 1981
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995
Al-Maudûdî, Abû al-A’lâ, Tafhîm Al-Qur’ân (The Meaning of The Quran), penj. ‘Abdul ‘Aziz Kamal, Lahore: Islamic Publications, 1989
_________, Abû al-A’lâ, Rights Non-Muslim in Islamic State, lahore: 1956
_________, Abû al-A’lâ, Jamâ’at Islâmî, us ka maqsad, tarikh, awr la laihi aml “The Jamâ’at Islâmî, Its Aim, History and Programme”, Lahore Markazi Maktabah Jamâ’at Islâmî, cetakan keempat, 1953
_________, Abû al-A’lâ, Nazdariyah Al-Islam Al-Siyasah, edisi Indonesi berjudul “Politik Alternatif; Suatu Persoektif Islam”, Penj. Muhammad Nurhakim Jakarta: Gema Insani Press, 1991
_________, Abû al-A’lâ, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Penj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, Cet. VI, 1996
_________, Abû al-A’lâ, The Islamic Law and Constitution, Penj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990
Al-Mâwardî, Abû Hasan, Adab al-Dunya wa al-Din, Tahqiq; Abdus Satar Ahmad Faraj, Beirut: Alam Kutub, t.t.
_________, al-Ahkâm as-Sulthaniyah, Mesir: Matba’ah al-Watan, 1298 H
Metcalf, D. Barbara, Islamic Revival in British India; Deoband, 1860-1900, Princeton, 1982
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1983
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Quinton, Anthony, Political Philosophy, Oxford University Press, 1976.
Rahman, Fazlur, “Islam and Political Action; Politics in the Service of Religion” dalam Nige Biggar, dkk (ed) Cities of Gods; Faith, Politics and Pluralism in Judaism, Christianity and Islam, New York: Green Wood Press, 1986
________, “Implemetation of The Islamic Concerpt of State in The Pakistan Milleu” dalam John J. Donohue dan John L esposito, et.al., Islam in Transition, London: Oxford University Press, 1982
Rahmena, Ali, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Razîk, Alî ‘Abd, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, Kairo: al-Qâhirat, 1925
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Al-Wahy al-Muhammadi, Mesir: Mathba’at al-Qahirât, 1960
________, Al-Khilâfah aw al-Imamâh al-‘Uzhmah, Kairo: Al-Manâr, t.t.
Sayed, Khalid B., The Jamâ'ati Islâmî Movement in Pakistan, Pacific Affairs, Vol. 30, 1958
Syadzali, Munawir, Islam dan Tatanegara; ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993
Syamsuddin, M. Din, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, IV, 1993
________, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Syaraf, Muhammad Jalâl dan Alî Abd al-Mu’thi Muhammad, Al-Fikr al-Siyasi fî al-Islâm, Iskandariyat: Dâr al-Jami’at al-Mishriyat, 1978
Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Amerika Serikat: William Collins, 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar