Do you know what is better than charity and fasting and prayer It is keeping peace and good relations between people, as quarrels and destroy bad feelings mankind. (prophet Muhammad)
Selasa, 23 Maret 2010
Konsep Kepemimpinan Dalam Negara Islam
(Analisis Atas Beberapa Pandangan Para Ulama)
Oleh :
DR. Arsyad Sobby Kesuma, M.Ag
IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
2009
Konsep Kepemimpinan Dalam Negara Islam
(Analisis Atas Beberapa Pandangan Para Ulama)
Oleh :
DR. Arsyad Sobby Kesuma, M.Ag
Abstrak
Diskusi dan perdebatan seputar bagaimana konsep kepemimpinan yang sesuai dan ideal dalam Islam (baca: Al-Qur’an dan Hadits) telah menjadi tema utama pembahasan politik Islam dari dulu hingga saat ini. Di antara bukti nyata pentingnya tema ini untuk dibahas terlihat dari begitu sentralnya tema ini dikaji dan disajikan dalam berbagai karya para ulama—baik yang klasik maupun modern. Salah satu alasan kenapa tema kepemimpinan ini sangat penting dan urgen untuk dibahas, karena tema ini adalah penentu akhir sebuah pembahasan politik Islam dalam hal ini tentang konsep sebuah negara Islam. Karena alasan itu-lah, maka para ulama—baik yang klasik maupun modern—berlomba-lomba meracik sebuah konsep yang betul-betul ideal untuk diterapkan dalam sebuah negara yang dinamakan negara Islam. Dengan alasan itu-lah, tulisan sederhana ini disusun; yakni mencoba menelusuri berbagai pendapat di antara para ulama yang tersajikan dalam berbagai karya-karya manumentalnya. Adapun kajian ini lebih memfokuskan pada dua tema terkait dengan konsep kepemimpinan. Dua tema itu adalah; Pertama, penelusuran seputar pendapat terkait dengan cara atau teknik pemilihan seorang kepala negara; Kedua, penelusuran seputar pendapat kriteria pemimpin negara Islam. Dengan pembahasan dua tema tersebut diharapkan dapat sedikit menjawab permasalahan terkait dengan konsep kepemimpinan dalam sebuah negara Islam yang menjadi tema sentral tulisan sederhana ini.
Kata Kunci : Kepemimpinan, Islam, dan Negara Islam
A. Pendahuluan
Perkara yang paling asasi ditekankan oleh Al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam proses mewujudkan dan melahirkan pemerintahan Islam adalah “soal kepemimpinan”. Karena begitu pentingnya masalah ini sehingga para ulama –baik yang klasik maupun modern merasa perlu menulis secara khusus tema ini dalam berbagai karyanya. Hal ini misalnya sebagaimana diungkapkan oleh al-Syahrastani. Ia mengatakan : “permasalahan yang paling besar berlaku di kalangan umat Islam adalah tentang kepemimpinan (al-Imamah). Tidak pernah berlaku dalam zaman manapun, peperangan yang lebih besar di kalangan umat Islam dari pada yang berlaku karena masalah kepemimpinan.”
Begitu pentingnya masalah kepemimpinan sehingga dalam al-Qur’ân, Allah mewajibkan akan kepatuhan terhadap pemimpin. Sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’ân: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS: al-Nisâ’ : 4: 59).
Bahkan dalam hadits-pun Rasulullâh menekankan akan pentingnya peran pemimpin walau dalam keadaan apapun: “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal bagi tiap orang yang berada di bumi yang terpencil kecuali mereka melantik salah seorang daripada mereka sebagai ketua mereka.” (HR: Ahmad Ibn Hambal). Dalam hadits yang lain : “Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullâh saw bersabda: “Apabila kedua orang keluar bermusafir, salah seorang daripada mereka hendaklah dijadikan ketua.” (HR: Abu Daud).
Permasalahan sengketa seputar konsep kepemimpinan dalam negara pertama kali dipicu oleh adanya ketidakjelasan tentang siapa yang pantas menjadi pengganti Nabi Muhammad Saw dalam mengurusi negara. Dalam hal ini, sedikitnya ada dua kubu besar yang berbeda pendapat tentang hal ini yakni persepsi kalangan Syî’ah dan Sunni. Kalangan Syî’ah meyakini bahwa ketika Nabi masih hidup sebenarnya ia telah menunjuk ‘Alî ra sebagai penggantinya. Berbeda dengan kalangan Syî’ah, kalangan Sunni mengatakan bahwa pernyataan kalangan Syi’ah tersebut tidak masuk akal dan bertentangan dengan realita sejarah.
Dalam makalah yang sederhana ini penulis bertujuan menyajikan uraian tentang seputar perbincangan konsep kepemimpinan negara Islam di antara para intelektual muslim yang tersaji dalam karya-karyanya. Untuk memetakan konsep tersebut, dalam hal ini penulis hanya menyajikan dua tema pokok : Pertama, bagaimana respon intelektual muslim terhadap cara pemilihan seorang pemimpin negara ?. Kedua, bagaimana kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin negara ?.
B. Cara Pemilihan Kepala Negara
Jika kita merujuk pada khazanah kekayaan intelektual muslim—baik yang klasik maupun yang modern, kajian seputar cara pemilihan atau pengangkatan seorang kepala negara sangatlah beragam. Tema ini adalah satu di antara tema yang paling penting di dalam memperbincangkan konsep sebuah negara Islam.
Di antara para intelektual muslim yang menyajikan tema ini dengan cukup jelas adalah Al-Bâqillânî. Ulama yang satu ini dikenal sebagai ulama yang mewakili kalangan ulama Sunni. Pemikiran-pemikiran yang dicetuskan olehnya kerapkali bertentangan bahkan terkesan membantah pernyataan kalangan Syî’ah. Di antara buah pemikiran yang cenderung mengkritik pemikiran atau doktrin syi’ah adalah; Ia mengatakan bahwa tidak ada orang yang mengetahui tentang penunjukan ‘Alî oleh Nabi untuk memangku jabatan imam. Ia juga mengatakan bahwa terpilihnya Abû Bakar sebagai pengganti Nabi untuk menjadi Khalîfah di pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah adalah merupakan konsensus umat Islam, karena itu, kepercayaan kalangan Syî’ah sebagai suatu hal yang palsu.
Atas dasar itu, maka al-Bâqillânî menetapkan bahwa pemilihan seorang pemimpin adalah melalui pemilihan (al-Ikhtiyar) oleh Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Menurutnya pemilihan pemimpin akan dikatakan sah meskipun dilakukan oleh seorang dari Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Setelah kepala negara terpilih, maka seluruh kaum Muslimin harus hadir untuk memberikan bai’at kepada imam yang terpilih tersebut.
Lebih lanjut ia menyatakan penolakan terhadap adanya dualisme atau lebih kepemimpinan dalam satu masa. Pendapatnya ini menurut J Suyuthi Pulungan adalah bentuk penolakan terhadap keabsahan klaim Fathimiyah yang Syî’ah dan daulah Umayah yang merupakan rival Abasiyah di Spanyol. Menurutnya, meskipun umat Islam telah terpecah ke dalam berbagai aliran dan masing-masing mengklaim berhak mempunyai pemerintahan sendiri, akan tetapi tetap tidak bisa dibenarkan. Kepala negara yang sah adalah yang dahulu diangkat. Bila kemudian ada yang mendirikan pemerintahan lain, maka ia wajib diperangi.
Pendapat yang menarik tentang mekanisme pengangkatan pemimpin negara diungkapkan oleh al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada kesepakatan atau pendapat tentang tata cara pengangkatan kepala negara; apakah dengan sistem penunjukan atau pemilihan. Akan tetapi, pada umumnya kelompok Sunni, termasuk Mu’tazilah dan Khawârij, menetapkan dengan cara pemilihan. Hal ini dilakukan dengan cara ijtihad yang bertanggung jawab oleh mereka yang memenuhi syarat melakukannya. Meskipun begitu, menurut al-Baghdadi, dengan cara penunjukan pun masih dibolehkan.
Ulama klasik lain yang juga menguraikan masalah kepemimpinan adalah al-Mâwardî dalam kitabnya “al-Ahkâm al-Sulthaniyyah”, Abu Ya’la dalam kitabnya “al-Ahkâm al-Sulthaniyyah”, Ibn Taimîyah dalam kitabnya “al-Siyasah al-Syar’iyyah”.
Sedangkan ulama dari kalangan modern yang cukup jelas membicarakan persoalan tata cara pemilihan pemimpin negara di antaranya adalah al-Maudûdî. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa hakim sebenarnya adalah Allâh. Menurutnya, Jika diamati realisasi pelaksanaan konsep kehakiman yang fundamental dalam bumi kaum Muslimin, maka akan diketahui kedudukannya tak lebih hanya sebagai wakil Tuhan. Pendapat al-Maudûdî ini didasari dari pemahamannya atas Al-Qur’an (QS : An-Nuur: 24: 55).
Artinya: “Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS : An-Nuur: 24: 55).
Ayat di atas menururt al-Maudûdî menjelaskan secara jelas tentang teori negara dalam pandangan Islam. Dalam teori tersebut Allâh mengemukakan dua konsep makro atau dua prinsip mendasar: Pertama, dalam kepemimpinan Islam digunakan terminologi “khilâfah”. Yang menarik dari pemikiran al-Maudûdî adalah elaborasi atas beberapa istilah terkait dengan kepemimpinan. Dalam hal kepemimpinan dalam Islam, al-Maudûdî memakai istilah khilâfah sebagai pengganti istilah “Hakimiyah”. Menurutnya, istilah “hakim” hanyalah untuk Allâh. Oleh karena itu setiap penguasa di bumi, meskipun di bawah undang-undang Islam, untuk selanjutnya disebut khalîfah (wakil) Hakim Tertinggi yakni Allâh. Peran khalîfah di bumi berada di bawah kendali Allâh karena tidak seorang pun menguasainya, kecuali Allâh.
Kedua, Allâh telah menjanjikan orang-orang yang mukmin tentang pengangkatan khalîfah, tetapi Dia tidak mengatakan hendak mengangkat seorang khalîfah dari salah satu di antara mereka .
Secara eksplisit menurut al-Maudûdî hal ini menunjukkan bahwa seluruh mukmin adalah khalîfah Allâh. Mereka bertanggung jawab kepada Allâh dalam kaitannya sebagai khalîfah. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw:
Artinya: “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, seorang kepala negara yang memimpin rakyat bertanggung jawab atas mereka, dan seorang laki-laki adalah pemimpin penghuni rumahnya dan bertanggung jawab atas mereka ”. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Hadîts ini dipahami oleh al-Maudûdî bahwa masing-masing manusia mempunyai peluang dan kedudukan yang sama dan tidak ada perbedaan untuk menjadi seorang khalîfah di muka bumi ini. Menurut al-Maudûdî dalam negara Islam, pemerintahan dibentuk secara demokratis dan diselenggarakan berdasarkan konsultasi timbal balik sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’ân (QS: An-Nuur 24: 55).
Dengan sandaran ayat di atas, al-Maudûdî mengatakan bahwa kekhalifahan yang dijanjikan oleh Allâh bersifat universal dan tidak terbatas hanya pada individu atau sekelompok orang. Jika melihat pendapat al-Maudûdî di atas, hampir sama dengan doktrin Khawârij yang mengatakan bahwa setiap Muslim dari kalangan manapun berhak untuk menjadi kepala negara.
Dalam mekanisme pengangkatan seorang pemimpin negara, al-Maudûdî mencontoh apa yang telah diperaktekkan pada masa Khulafâ al-Rasyidîn yang melakukan model pemilihan secara terbuka. Model pengangkatan pemimpin negara pada masa Khulafâ al-Rasyidîn adalah model pemilihan yang paling ideal. Realita sejarah pada masa Khulafâ al-Rasyidîn oleh al-Maudûdî digunakan untuk merumuskan mekanisme pemilihan kepala negara yang menurutnya sesuai dengan ajaran Islam sebagai berikut; Pertama, dalam negara Islam, pemilihan kepala negara sepenuhnya bergantung kepada masyarakat umum, dan tidak seorang pun berhak untuk mengangkat diri dengan paksaan atau kekerasan sebagai Amîr. Kedua, tidak ada satu klan atau suatu kelompok pun yang memonopoli jabatan. Ketiga, pemilihan harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum Muslim dan tanpa adanya pemaksaan atau ancaman.
Menarik membicarakan poin nomor pertama di atas yang mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak boleh mencalonkan dirinya sendiri. Al-Maudûdî mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada arena buat pencalonan atau perebutan kedudukan, apalagi dengan menggunakan kampanye-kampanye pemilihan. Hal ini tidak sesuai dengan pemikiran dan pandangan Islam. Tidak hanya itu, al-Maudûdî melengkapinya dengan konsekuensi hukum jika terjadi hal di atas yakni perebutan kekuasaan. Menurutnya jika di negara Islam ditemukan orang yang melakukan praktek semacam itu, maka ia akan dibawa ke meja hijau dan akan menerima hukuman yang berat. Konsep yang ditawarkan oleh al-Maudûdî ini terlihat sangat utopis dan tidak realistis bahkan di negara Pakistan saat itu yang sudah memakai sistem kepartaian yang memilih kepala negara dengan sistem pencalonan.
Mencermati mekanisme cara pemilihan kepala negara di atas, pemikiran al-Maudûdî ini betul-betul sesuai dengan apa yang disuarakan oleh konsep demokrasi yang memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk menduduki jabatan kepala negara. Pemikiran al-Maudûdî di atas memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi khalîfah, meskipun begitu, ia menentukan kriteria-kriteria bagi siapa yang menghendaki menjadi pemimpin negara. Kriteria yang ditetapkan oleh al-Maudûdî pada akhirnya justru memposisikan al-Maudûdî bukan sebagai seorang yang sesuai dengan demokratis, akan tetapi sebaliknya, ia justru terjebak kepada hal-hal yang mendekati prilaku diskriminatif. Untuk lebih jelas pemikiran al-Maudûdî mengenai kepala negara akan diuraikan mengenai kriteria pemimpin negara, di bawah ini.
C. Kriteria Pemimpin Negara Islam
Masalah pelik lainnya terkait dengan konsep kepemimpinan negara dalam Islam adalah perbincangan seputar kriteria seorang pemimpin negara Islam. Di antara ulama yang serius mengulas tema ini adalah lagi-lagi al-Bâqillânî salah seorang ulama Sunni. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa syarat kepala negara haruslah berilmu pengetahuan yang luas. Hal ini sangat diperlukan karena dengan pengetahuan yang luas ia akan dapat melihat apakah keputusan yang diambil oleh hakim negara sesuai dengan syarî’at atau tidak. Syarat seorang kepala negara lainnya adalah harus mempunyai sifat adil dalam segala urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Di samping syarat di atas, al-Bâqillânî mengatakan bahwa syarat kepala negara haruslah dari suku Quraisy. Menurut J. Suyuthi Pulungan bahwa persyaratan yang terakhir di atas adalah bentuk penolakan al-Bâqillânî terhadap doktrin Khawârij yang mengatakan bahwa setiap Muslim dari kalangan manapun berhak untuk menjadi kepala negara, di samping penolakannya terhadap Syî’ah yang mengatakan bahwa kepala negara terbatas pada keturunan ‘Alî.
Hampir sama dengan apa yang diungkapkan oleh al-Bâqillânî di atas, al-Bagdadi mengatakan bahwa syarat seorang kepala negara adalah: Pertama, berilmu pengetahuan, syarat ini diperlukan untuk dapat mengetahui apakah undang-undang yang telah dibuat oleh para mujtahid sesuai dengan hukum agama. Kedua, bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan tugas administrasi. Ketiga, bersifat jujur dan shaleh. Keempat, berasal dari suku Quraisy.
Berbeda dengan kedua ulama di atas, Ibn Abi Rabi’ menentukan syarat-syarat kepala negara dengan lebih melihat dari sisi kekuatan dan keturunan sebagai berikut: pertama, kebapaan dan berasal dari keluarga raja; Kedua, bercita-cita besar, cita-cita ini bisa diperoleh dari pendidikan dan akhlak; Ketiga, berpandangan kokoh. Sifat ini dapat diperoleh dengan meneliti dan mempelajari kehidupan orang terdahulu dan pengalamanan hidup mereka; Keempat, tangguh dalam menghadapi kesukaran dengan keberanian dan kekuatan; Kelima, memiliki harta banyak; Keenam, memiliki pembantu-pembantu dengan loyalitas tinggi.
Berbeda dengan beberapa pandangan ulama di atas, Imam al-Juwaini mensyaratkan kepala negara dengan menitikberatkan pada sisi kemampuan berfikir. Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas oleh Plato dahulu. Imam al-Juwaini mengatakan bahwa pemimpin negara haruslah seorang mujtahîd, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat memeliharanya, mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan, memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin, memiliki sifat lemah lembut, tegas dalam menjalankan hukum, seorang laki-laki yang merdeka. Yang menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin negara dari keturunan Quraisy. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak.
Berbeda dengan gurunya di atas, al-Ghazâlî dalam hal penentuan syarat untuk menjadi seorang pemimpin negara, mengajukan sepuluh syarat yang harus dipenuhi: haruslah seorang laki-laki, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka, sehat, punya kekuasaan nyata, memiliki kemampuan, wara’, berilmu, dan haruslah bersuku Quraisy.
Hampir sama dengan Imam al-Juwaini di atas, Ibn Khaldûn mengatakan bahwa syarat seorang pemimpin negara haruslah memenuhi lima syarat; pertama, berilmu pengetahuan, dengan ilmu pengetahuan menurutnya ia dapat melaksanakan hukum-hukum Allâh dan sanggup membuat keputusan yang bebas dengan jalan ijtihâd. Kedua, al-Kifayat, yakni kesanggupan melaksanakan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Ketiga, berlaku adil. Hal ini diperlukan karena imâmah adalah suatu lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lainnya yang pelaksanaannya membutuhkan keadilan. Keempat, sehat panca indra, dan Kelima, keturunan Quraisy.
Menarik mencermati poin kelima yang disyaratkan oleh Ibn Khaldûn di atas, ia menjelaskan sisi rasionalitas mengapa Nabi sampai mengatakan bahwa orang Quraisy-lah yang berhak menjadi pemimpin. Penetapan Nabi tersebut menurut Ibn Khaldûn karena pada masa itu, suku Quraisy-lah yang lebih kuat di antara suku-suku lainnya yang ada di Arab pada waktu itu. Di samping itu, suku Quraisy lebih tangguh dan terkemuka dibandingkan suku-suku lainnya. Mereka juga memiliki solidaritas yang tinggi dan memelihara kesatuan umat Islam. Meskipun begitu, menurut Ibn Khaldûn apabila dikemudian hari ada suku lain yang ternyata lebih mampu memegang kekuasaan, maka ia pun berhak untuk memimpin. Ibn Khaldûn nampaknya sadar bahwa kewibawaan suku Quraisy akan berakhir pada suatu masa. Maka persyaratan itu dicantumkan secara simbolis. Dengan demikian, persyaratan kelima yang dinyatakan oleh Ibn Khaldûn tentang keharusan dari suku Quraisy tidaklah mutlak.
Menurut Ibn Taimîyah, bahwa orang yang pantas untuk menjadi pemimpin adalah harus mempunyai kualifikasi kekuatan dan integritas. Hal ini didasarkan atas petunjuk Al-Qur’ân surat al-Qashash, ayat 26, yang mengatakan bahwa orang yang terbaik untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dipercaya (amanah). Dalam hal syarat menjadi seorang pemimpin, Ibn Taimîyah tidak mensyaratkan harus dari suku Quraisy. Hal ini menurutnya bahwa pernyataan itu adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh kalangan ulama, maka syarat itu tidak mungkin ditetapkan. Bahkan menurutnya, pendapat bahwa harus dari suku Quraisy adalah pendapat yang bertentangan dengan konsep persamaan yang digagas oleh Al-Qur’ân sendiri dalam surat al-Hujurat ayat 13. Jadi, meskipun pendapat itu berdasarkan hadîts, akan tetapi bertentangan dengan nash Al-Qur’ân sendiri.
Al-Mâwardî dalam kitab “Adâb al-Dunya” mengatakan bahwa seorang pemimpin negara haruslah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, bersifat adil (al-adalah). Masalah adil ini bagi al-Mâwardî adalah masalah yang sagat fundamental. Tanpa persyaratan ini, proses yang baik dalam kepemimpinan negara sulit terlaksana. Lebih jauh, ia mensinyalir, sifat adil ini pertama akan tercermin dalam tingkat pribadi pada sikap senang melakukan semua perbuatan yang baik dan segan mengerjakan perbuatan yang keji. Apabila keadilan itu sudah mampu digelar pada level individu, maka sangat mungkin ia mampu menegakkan keadilan ditingkat sosial dan masyarakat. Ia akan mampu menghadapi aneka ragam kelompok masyarakat manusia atas prinsip pemerataan dan persamaan. Dengan kata lain, dalam konteks sosial kemasyarakatan, keadilan seorang kepala negara berarti keserasian sosial kemasyarakatan; keadilan kepala negara berarti keserasian dan keseimbangannya dalam mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan warga negara dengan perlakuan-perlakuan yang berdimensikan keadilan. Kedua, berpengetahuan (al-alim). Kapasitas pengetahuan yang luas ini dibutuhkan untuk menopang kemampuannya dalam berjihad, berfikir secara independent, yang diperlukan setiap saat oleh seorang kepala negara. Dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan, ijtihâd seorang kepala negara mutlak diperlukan. Jika seorang kepala negara tidak memiliki wawasan yang cukup, dikhawatirkan ia akan dengan mudah mengabaikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan pemerintahannya, yang pada gilirannya akan mengarah pada penanganan masalah-masalah kenegaraan secara serampangan. Ketiga, memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna. Kemampuan ini sangat berguna untuk dapat mengenali masalah dengan teliti dan dapat mengkomunikasikannya dengan baik dalam proses penentuan hukum. Keempat, mempunyai kondisi fisik yang sehat yang menjamin pergerakan tubuhnya secara bebas. Kelima, memiliki kebijakan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum. Keenam, memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk mempertahankannya dari serangan musuh. Ketujuh, berasal dari keturunan Quraisy. Pernyataan ini menurut al-Mâwardî berdasarkan ketentuan yang disepakati umum.
Menurut Muhammad Abû Zahrah untuk terciptanya kekhalîfahan yang bersifat kenabian dan tidak berubah menjadi kerajaan turun-temurun. Jumhur ulama menurutnya bersepakat menetapkan empat syarat bagi seseorang yang akan diangkat menjadi imam: Pertama, seorang pemimpin haruslah berasal dari suku Quraisy. Kedua, adanya bai’at dari Ahl al-Hall wa al-‘Aqd (wakil rakyat). Dalam hal ini antara wakil rakyat, tentara, serta mayoritas kaum Muslim menyatakan janji setia kepada seorang khalîfah untuk mematuhi dan mentaatinya, baik dalam hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, selama tidak dalam kerangka kedurhakaan kepada Tuhan. Di samping itu, khalîfah juga harus berjanji kepada rakyatnya akan melaksanakan hukum dan kewajiban serta berlaku adil berdesarkan petunjuk al-Qur’ûn dan Sunnah Nabi. Ketiga, Musyawarah, proses pemilihan seorang khalîfah haruslah dengan jalan musyawarah. Keempat, keadilan, syarat keadilan juga harus terpatri pada pribadi seorang imam, tidak memprioritaskan keluarganya, tidak mengangkat seorang karena hawa nafsu, tidak mengutamakan orang yang disenangi, dan tidak menyingkirkan orang yang dibenci. Lebih lanjut Abû Zahrah mengatakan bahwa jika seorang pemimpin tidak memiliki kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas, maka sistem kepemimpinannya bukan sistem kepemimpinan model Islam akan tetapi bersistem sekuler.
Pendapat yang tidak kalah menariknya—bahkan unik sehingga perlu untuk didiskusikan adalah yang datang dari al-Maudûdî. Dalam uraiannya seputar kriteria seorang pemimpin negara ia mensyaratkan sebagai berikut: Pertama, ia harus seorang Muslim, kriteria ini menurutnya sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’ân.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qur’ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS: An-Nisaa’: 4: 59)
Dengan pemahaman atas ayat ini, al-Maudûdî tidak memberikan hak kepada non-Muslim untuk menjadi kepala negara yang memimpin umat Islam.
Kedua, ia haruslah seorang laki-laki, syarat ini pun dijelaskan sebagaimana ayat al-Qur’ân.
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allâh lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allâh telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allâh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS: An-Nisaa’ : 4: 34).
Tidak hanya ayat di atas yang menjadi acuan al-Maudûdî, ia pun mengacu pada ketentuan hadîts Rasulullâh saw: “Sesungguhnya suatu bangsa tidak akan berkembang jika diperintah oleh seorang wanita”. (HR: Bukhari).
Ketiga, seorang pemimpin negara haruslah dalam keadaan waras dan dewasa. Syarat ini dijelaskan dalam ayat al-Qur’ân.
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allâh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS: An-Nisaa’ : 4: 5).
Keempat, seorang pemimpin negara harus merupakan warga dari negara Islam. Syarat keempat yang diacu oleh al-Maudûdî berdasarkan keterangan ayat al-Qur’ân.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allâh dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allâh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Anfal : 72).
Dari penjelasan ayat di atas yang kemudian menjadi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin negara menjadi persyaratan yang menentukan apakah seorang Muslim dapat menjadi kepala negara Islam atau anggota majlis permusyawaratan.
Jika dilakukan analisa atas persyaratan yang diajukan oleh al-Maudûdî di atas, persyaratan yang keempat ini hampir sama dengan persyaratan nomor pertama di atas, ia tidak memberikan hak kepada warga non-Muslim untuk memimpin negara Islam meskipun ia mempunyai kualitas sebagai seorang pemimpin. Jika kita bandingkan dengan pendapat al-Maudûdî sebelumnya yang mengatakan bahwa masing-masing manusia mempunyai peluang dan kedudukan yang sama dan tidak ada perbedaan untuk menjadi seorang khalîfah di muka bumi ini, terlihat bahwa kata-kata al-Maudûdî ini tidak konsisten atau bertolak belakang dengan kata-kata sebelumnya.
Di samping syarat-syarat di atas, al-Maudûdî juga memberikan syarat-syarat seorang pemimpin negara yang harus dipilih dan kriteria yang tidak boleh dipilih dengan merujuk beberapa ayat-ayat al-Qur’ân. Di antara syarat tersebut adalah: bersifat amanat, adil, bertakwa, berilmu luas. Di antara ayat-ayat Al-Qur’ân yang menjadi acuan al-Maudûdî adalah sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: An-Nisaa’ : 4: 58).
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allâh ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS: Al-Hujurat: 49: 13).
Artinya: “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allâh telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allâh telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allâh memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allâh Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. (QS: Al-Baqarah : 2: 247).
Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS: Al-Kahfi: 18: 28).
Menarik untuk dicermati ketentuan yang ditetapkan oleh al-Maudûdî perihal syarat-syarat kepala negara tidak dimasukkan keturunan Quraisy sebagai syarat menjadi seorang pemimpin negara meskipun telah jelas dinyatakan dalam hadîts Nabi. Dalam karyanya al-Maudûdî tidak memberikan alasan mengapa ia tidak mencantumkan syarat kepala negara dari suku Quraisy padahal syarat tersebut telah disepakati oleh mayoritas ulama sunni. Di sini nampaknya al-Maudûdî menyadari bahwa persyaratan harus dari suku Quraisy sudah tidak realistis lagi di masa modern saat ini. Di samping itu tidak begitu penting untuk diterapkan pada masanya mengingat sudah begitu jauh jarak waktu yang memisahkan, dengan demikian sangatlah sulit untuk mendeteksi apakah ia betul berasal dari suku Quraisy atau bukan. Alasan lain adalah tidak pastinya disetiap negara termasuk di Pakistan sendiri berada suku Quraisy mengingat saat ini umat Islam tersebar diseluruh dunia bukan hanya di Arab saja, tambahan lagi mengingat alasan yang diutarakan oleh Ibn Taimîyah di atas yakni permasalahan keharusan dari suku Quraisy termasuk permasalahan yang masih diperdebatkan. Pemikiran al-Maudûdî tentang tidak dimasukannya syarat pemimpin harus dari suku Quraisy menjadikan ia seorang intelektual Islam pertama dari kalangan pemikira Islam modern yang secara tegas menolak ketentuan syarat dari suku Quraisy sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama klasik.
Sisi menarik lainnya untuk didiskusikan perihal syarat jenis kelamin yakni harus laki-laki. Dalam kitab suci Al-Qur’ân sendiri bukankah telah dijelaskan dengan tegas bahwa tidak ada yang lebih baik di mata Allâh kecuali mereka yang bertakwa (laki-laki dan perempuan). Tidak hanya itu, dalam kehidupan politik, sosoial, budaya, ekonomi, laki-laki dan perempaun masing-masing memikul tangung jawab sama, bergandengan tangan dan bahu membahu sebagai mitra sejajar. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang baik dan mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah akan merahmati mereka, sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. at-Taubah: 71).
Jika kita mengacu pada al-Qurân, sebutan perempuan (an-nisâ’) dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata rajul atau rijal atau al-untsa yang berpasangan dengan adz-dzakar yang disebut sepuluh kali. Perimbangan penyebutan ini selintas mengindikasikan, bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut, sungguhpun memiliki perbedaan, namun diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang dan adil oleh Islam. Kesetaraan (musawah) ini disebut berulang kali secara berdampingan dan berpasang-pasangan dalam Al-Qur’an (lihat misalnya Q.S. al-Ghafir: 40; Q.S. Ali Imran: 195, Q.S. an-Nahl: 97, dan Q.S. al-Ahzab: 35). Bahkan dalam sejumlah hadîst, Nabi Muhammad Saw. justru sangat memuliakan dan menghormati perempuan ketimbang laki-laki. Pada saat Nabi ditanya oleh seorang sahabat “Siapa di antara manusia yang paling utama untuk dihormati?” Beliau menjawab, “Ibumu”. “Kemudian siapa lagi?”, tanya sahabat lagi. “Ibumu,” lanjut Nabi lagi. “Siapa lagi?”, tanya sahabat ketiga kalinya. “Ibumu,” jawab Nabi lagi. “Siapa lagi?”, tanya lagi. Nabi pun kemudian menjawab, “Ayahmu” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain Nabi juga bersabda, “al-Jannah tahta aqdamil ummahat” (Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu).
Jika kita merujuk pada sejarah Islam terdapat tokoh perempuan yang berperan sebagai pemimpin, tokoh ulama dan perawi hadis. Di masa Nabi, tercatat ada 1.232 perempuan yang me¬nerima dan meriwayatkan hadis. Bahkan Ummul Mukminin Aisyah r.a., istri Nabi, tercatat sebagai salah satu dari tujuh bendaharawan hadis. Dia meriwayatkan 2.210 hadis. Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi yang pertama, dikenal sebagai perempuan yang sukses dalam dunia bisnis. Asy-Syifa’ tercatat sebagai perempuan yang ditunjuk Khalîfah Umar sebagai manajer pasar di Madinah, sebuah pasar besar di ibukota pada waktu itu. Zainab, istri Nabi, menyamak kulit dan hasilnya disedekahkan. Zainab istri Ibnu Mas’ud dan Asma’ binti Abû Bakar keluar rumah mencari nafkah untuk keluarga.
Di medan perang, ba¬nyak nama sahabat perempuan yang tercatat sebagai pejuang, baik di garis belakang seperti mengobati prajurit yang luka dan menyediakan logistik maupun di garis depan memegang senjata berhadapan dengan lawan. Nusaibah binti Ka’ab ter¬catat sebagai perempuan yang memanggul senjata melin¬dungi Rasulullah ketika perang Uhud. Al-Rabi’ binti al-Mu’awwidz, Ummu Sinan, Ummu Sulaim, Ummu Athiyah, dan sekelompok perempuan lain juga beberapa kali ikut turun ke medan laga. Catatan mengenai keberanian mereka dapat kita jumpai dalam banyak hadîst sahih dan buku-buku sejarah yang terkenal.
Menarik mengelaborasi lebih lanjut syarat seorang pemimpin negara Islam harus laki-laki dengan argumentasi merujuk pada (QS: An-Nisaa’: 34). Dalam memahami ayat ini nampaknya pesan substansi ayat ini dengan memahmi sebab-sebab turunnya diabaikan.
Menurut Imam Abul Hasân Ali ibn Ahmad al-Wahidi (w.468 H), asbabun-nuzul atau sebab-sebab turun ayat ini bermula dari kisah Sa’ad ibn Rabi’, seorang pembesar golongan Anshar dari Madinah, bahwa isterinya, Habibah binti Zaid ibn Abi Hurairah, telah berbuat nusyuz (durhaka atau menentang keinginan Sa’ad untuk bersetubuh). Karena perbuatannya itu, ia pun ditampar oleh suaminya. Habibah kemudian mengadukan masalahnya ini kepada Nabi Saw. Nabi kemudian memutuskan untuk men-qishash (membalas dengan sanksi serupa dengan perbuatannya) terhadap Sa’ad. Tetapi begitu qishash akan dilakukan, Nabi memanggil pasangan suami-istri tersebut seraya mengabarkan ayat yang baru turun melalui Jibril, Nabi kemudian membatalkan perintah qishash terhadap Sa’ad. Dari sini dapat dipahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan perempuan di luar “urusan ranjang” jelas memiliki validitas yang lemah. Ayat tersebut juga bukan berupa kalimat instruksi (‘amar), namun hanya bersifat khabariah (berita), sehingga akurasi soal hukum wajib atau haramnya ternyata kurang efektif. Pelarangan seorang pemimpin perempuan kerap kali didukung dengan argumentasi hadîts sahih yang diriwayatkan oleh Imâm Bukhari yang artinya “tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa) kepada seorang perempuan”.
Untuk menguji keabsahan pengambilan hukum tersebut, kita tinjau sebab-sebab munculnya hadis ini. Ahmâd ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam karyanya, Fathul Bari, menyebutkan bahwa hadis tersebut bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah Saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam kepada Kisro Anusyirwan, penguasa Imperium Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat Nabi. Dari laporan tersebut Nabi Saw. memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah-belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat itu. Tidak berapa lama kemudian firasat itu terbukti. Imperium itu jatuh ketika dipimpin puteri Kisro yang bernama Buran. Dari sini muncullah hadis di atas. Pernyataan Nabi tersebut sangatlah argumentatif, karena kapabilitas Buran yang lemah dalam manajemen kepemimpinan.
Latar belakang turunnya hadîst tersebut memperlihatkan bahwa hadîst tersebut bersifat kasuistis dan kondisional. Objek pembicaraan Nabi bukanlah kepada seluruh perempuan, akan tetapi hanya tertuju kepada Puteri Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya diragukan. Terlebih di tengah percaturan politik Timur Tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku dan kerajaan.
Pemahaman penulis ini dikuatkan dengan pendapat Ibn Jarir at-Thabari yang melegtimasi kepemimpinan perempuan. Demikian pula pendapat sebagian ulama mazhab Maliki, sebagaimana diungkap Ibn Hajar al-Asqalani. Dalam lintas sejarah, di bumi Mesir juga pernah muncul seorang penguasa puteri dari Dinasti Mamalik yang bernama ratu Syajaratuddur. Bahkan, jauh sebelum Islam muncul, pada masa Nabi Sulaiman, ada negeri yang diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam Al-Qur’ân yang dikenal “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (negeri yang adil, makmur, aman dan sentosa), yaitu negeri Saba’. Negeri ini ternyata dipimpin oleh penguasa perempuan, Ratu Bilqis.
Ratu Bilqis dikisahkan mampu mendinamisasikan sistem pemerintahan yang demokratis dengan mengoptimalkan dialog terbuka dengan mengikutsertakan para elite politik di negaranya (al-mala’). Begitu pula tatkala menyikapi tawaran (baca: dak’wah) Nabi Sulaiman As., Bilqis sangat menghormati pluralisme agama dengan mempertimbangkan secara jernih sampai akhirnya mengikuti kebenaran yang dibawa Nabi Sulaiman as.
Jika kita memperhatikan apa yang diungkapkan oleh para ulama di atas perihal syarat pemimpin negara harus laki-laki dan berupaya mengelaborasi argumentasinya, nampaknya mereka kurang atau bisa dikatakan mengabaikan dalam memahami nilai substansi pesan dari ayat QS: An-Nisa: 4: 34 tersebut. Mereka kebanyakan hanya memahami ayat tersebut secara tekstual bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan tidak hanya dalam sudut keluarga melainkan juga dalam memimpin negara dan melupakan pemahaman substansi turunnya ayat tersebut.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas prihal tekhnik pengangkatan seorang pemimpin negara dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara sangat-lah berfareasi. Ada yang lebih mementingkan faktor kualitas kepemimpinan (kemampuan) tanpa memperdulikan status-nya (laki-laki atau perempuan dan berasal dari suku Quraisy atau bukan); ada juga yang memadukan keduanya (kualitas kepemimpinan dan status).
Perbedaan ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang kondisi sosial di mana mereka hidup, dan yang lebih penting lagi adalah perbedaan pola pemahaman dalam menafsirkan teks-teks suci (Al-Qur’an dan Hadits) dan teks sejarah. Perbedaan pola penafsiran ini secara otomatis akan mempengaruhi produk pemikiran, tidak terkecuali tentang tekhnik pengangkatan dan kriteria seorang calon kepala negara.
Jika kita membaca pemikiran-pemikiran di atas, memang ada beberapa pemikiran yang nampaknya sudah tidak realistis jika diterapkan untuk kondisi saat ini. Meskipun begitu, menurut hemat penulis sebagian besar pemikiran tersebut masih tetap relevan jika kita terapkan untuk kondisi saat ini—bahkan sampai kapan pun karena sifatnya abadi; seperti tentang kriteria pemimpin harus adil, berwawasan luas dan sebagainya.
Meskipun begitu, perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebuah rahmat dan hikmah yang tidak harus ditutup-tutupi apalagi disalah-salahkan, karena perbedaan tersebut adalah kekayaan khazanah pemikiran Islam yang tersimpan dalam karya bermutu yang harus dipelihara dan disyukuri sebagai alternatif pilihan dan referensi bagi kita saat ini dan kelak. Wallahu a’lam.
Daftar Rujukan
Al-‘Asqalani, Abu al-Fadhl Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari Syarh al-Bukhari, vol. Xiii, Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi wa Auladun, 1959
Baqi, Fuad Abdul, al-Mu’jam al-Mufahras li-Alfâzhil Qur’ân al-Karîm, Beirut: Darul Fikr, 199
Dawûd, Abû, Sunan Abû Dawûd, Beirut: Mu’assasah al-Kutûb al-Thaqafiyah, Jil. 1, 1988
Hambâl, Ahmad Ibn, Musnad Ibn Hambâl, Beirut: Dâr al Fikr, Jilid 2, t.t.
Ibn Khaldûn, Al-Muqaddimah, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ibn Taimîyah, Al-Siyasat al-Syar’iyat fî Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyat , (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyat, 1966), hal. 15.
Al-Juwaini, Al-Irsyad Ila Qawathi’i al-Adillat fi Ushul al-I’tiqad, (Mishr: Maktabat al-Khanji, 1950), hal. 426-427.
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, penj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983
Lambton, Ann KS, State and Government in Medieval Islam, London: Oxford University Press, 1981
Al-Maudûdî, Abû al-A’lâ, Tafhîm Al-Qur’ân (The Meaning of The Quran), penj. ‘Abdul ‘Aziz Kamal, Lahore: Islamic Publications, 1989
_________, Abû al-A’lâ, The Islamic Law and Constitution, Penj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990
_________, Nazdariyah Al-Islam Al-Siyasah, edisi Indonesia berjudul “Politik Alternatif; Suatu Perspektif Islam”, Penj. Moh Nurhakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1991)
Al-Mâwardî, Abû Hasan, Adab al-Dunya wa al-Din, Tahqiq; Abdus Satar Ahmad Faraj, Beirut: Alam Kutub, t.t.
_________, al-Ahkâm as-Sulthaniyah, Mesir: Matba’ah al-Watan, 1298 H
Mûsâ, Muhammad Yûsuf, Nizhâm al-Hukm fî al-Islam, Kairo: Dâr al-Katib al-‘Arabi, t.t.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Rabi’, Ibn Abi, Sulûk al-Mâlik fî Tadbîr al-Mamalik, Al-Qahirat: Dâr al-Sya’ab, 1970.
Al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Bairut: Dâr al-Fikr, jilid 1, t,t.
Syaraf, Muhammad Jalâl dan Alî Abd al-Mu’thi Muhammad, Al-Fikr al-Siyasi fî al-Islâm, Iskandariyat: Dâr al-Jami’at al-Mishriyat, 1978
al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad, Asbab an-Nuzul (ed). Sayid Ahmad Shaqr, Muassasah Ulumul Qur’an, 1987
Zahrah, Muhammad Abû, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Penj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos Publishing House, 1996
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar