Laman

Rabu, 23 Maret 2011

Makna Simbolik dalam Nyepi

Arsyad Sobby Kesuma
Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Haden Intan Lampung

Jika direnungkan, ada ber- bagai macam akar pemicu munculnya konflik yang di di negeri ini. Dan yang tak kalah pentingnya menurut hemat says-alasan ini justly adalah pemicu awal munculnya konflik tersebut—adalah ada¬nya rasa ketidaksiapan umat be-ragama untuk hidup secara ber¬dampingan dalam masyarakat yang multikultural.
Rasa ketidaksiapan ini terka¬dang dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan tertentu yang sifatnya politis dengan bentuk pembangkitan fanatisme beragama yang semu.
Ada banyak cars yang bisa ditempuh oleh mereka yang memanfaatkan kondisi ini. Mid
salnya, pertama, mengbidupkan embali sikap klaim kebenaran gams (truth claim). Dengan menyeruaknya kembali sikap ini, masing-masing penganut agama akan mengklaim bahwa agama¬nya-lah yang paling benar.
Jika sikap ini masih terpatri da , lam kepercayaan mat beragama, dengan mudah akan memunc -ulkan sikap triumphalism, yakni ecenderungan menganggap umat lain sebagai objek yang butch diselamatkan.
Kedua, jika ada rasa ketidak¬siapan untuk hidup secara ber¬dampingan dalam masyarakat yang berbeda agama, biasa¬nyd akan memunculkan sikap, minder dalam beragama. Sikap ini biasanya menjangkit para penganut agama minoritas.
Para penganut agama minori¬tas biasanya akan terjebak pads mentalitas korban atau yang dikorbankan. Jika pemahaman ini sudah muncul, si monoritas atau si korban akan membenci dan menganggap si mayoritas sebagai sumber penindasan dan pelaku ketidakadilan.
Bush dari semu itu, para penganut agama akan menjadi fanatisme dan primordialisme sempit sebagaimana diung¬kapkan oleh Stephen Toulmin dalam Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity berkata ketika umat beragama tak siap hidup berdampingan di tengah masyarakat yang multikultural, mereka cenderung membangun relasi yang diwarnai konflik, kekerasan, dan eksploitasi."
Dalam situasi seperti ini, ka-dang kebenaran teologis diung¬kapkan, dipertahankan, dan ditegakkan bukan dengan bahasa santun dan persuasif, tetapi dengan senjata. Dalam konflik ini simbol-simbol agama wring digunakan dan efektif untuk membakar semangat massa.
Bagi para penganut agama Hindu yang saat ini sedang merayakan hari rays sakral yakni Nyepi ke 1933—dan juga agama-agama lainnya, yang minoritas di Indonesia “Rasa mentalitas si korban atau yang dikorbankan oleh mereka yang juga minoritas haruslah dipupus”
selayaknya sikap seperti di atas sudah mulai dihilangkan. Karena jika kita membaca ajaran agama Hindu yang tersimbolkan dalam Nyepi, seluruhnya berisi ajaran yang santun dan damai.
Jika kita menelusuri makna sombolik yang ada dalam Nyepi sangatlah agung. Nyepi bagi umat Hindu adalah proses menahan. Menahan dalam arti men¬jaga hati agar tidak diperbudak oleh haws nafsunya.
Bahkan lebih jauh dari itu, Nyepi juga bermakna sosial. Kondisi lingkungan kita yang heterogen—baik dari sisi et¬nis, budaya, bahkan agama membuat kita dituntut untuk bersikap arif. Spiritualitas Sim¬bolis Nyepi mengajarkan umat Hindu, untuk selalu bersikap santun, ramah, toleran, cinta perdamaian, humans terhadap mereka yang berbeda—siapa pun perbedaannya.
Jika kita renungkan, perayaan Nyepi mempunyai makna filo¬sofi yang mulia. Berbagai ritual yang ada dalam tradisi Nyepi, seperti kehidupan tanpa kegiat¬an atau di sebut juga dengan amati karya, kehidupan gelap gu¬lita tanpa penerangan atau yang disebut dengan amati geni atau api, kehidupan tanpa aktivitas di luar rumah atau disebut de¬ngan amati lelungaan, kehidupan tanpa pests dan hiburan atau yang disebut juga dengan amati lelanguan. Semua itu bermakna simbolis bahwa penganut agama Hindu hares menyisihkan wak¬tu untuk merenung akan makna. kehidupan.
,,Ritual yang bernilai agung itu adalah sebagai bentuk nyata sarana untuk meningkatkan kualitas spiritual umat Hindu untuk menuju tingkat keimanan yang sejati (Sraddha) kepada Tu¬han. Dari sini bisa kita pahami bahwa Nyepi ternyata tidak hanya bermakna peningkatan kesalehan individu, tetapi juga peningkatan kesalehan sosial.
Meskipun eksistensi penga-nut agama Hindu, termasuk minoritas di Indonesia, akan tetapi keberadaannya tetaplah penting. Karena bagaimanapun, Hindu dengan penganutnya juga ikut terlibat dalam mema¬jukan dan menjaga bangsa ini menjadi besar seperti sekarang. Bukankah agama Hindu justru pernah menorehkan peradaban yang unggul ketika Indonesia ini masih dalam bentuk kera¬jaan-kerajaan dahulu.
Sebab itu, dengan momen Hari Rays Nyepi ini, selayaknya rasa ketidaksiapan umat beragama untuk hidup secara berd amping¬an dalam masyarakat yang mul-tikultural perlu dihilangkan dan yang terpenting, rasa mentalitas si korban atau yang dikorbankan oleh mereka yang juga minoritas haruslah dipupus agar tidak memicu sikap fanatisme beta yang redikal dan ekstrem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar