Laman

Kamis, 10 April 2014

Essay


Berbagi tidak harus berupa materi, kita juga bisa berbagi kasih sayang, semangat, dan ilmu yang kita punya kepada orang lain. Itu adalah yang saya rasakan ketika saya bergabung dalam beberapa komunitas yang bergerak di bidang sosial dan kesehatan di bandar lampung. Saya dengan beberapa teman tergabung dalam sebuah komunitas yang bernama @penyala_lampung, yaitu sebuah komunitas non profit yang bergerak dalam bidang pendidikan. Kami biasanya mengadakan perpustakaan keliling (pusling) dan mengadakan sebuah workshop giat belajar dan minat membaca dalam meraih cita-cita. Ini biasa kami lakukan di sekolah-sekolah marginal (kelas menengah kebawah) setiap bulannya.
Dalam bidang pendidikan juga saya pernah mengajar anak-anak di pulau tegal kecamatan padang cermin lampung selatan. Disana ada sekitar 25 anak sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 yang putus sekolah. Apabila mereka ingin sekolah negeri mereka harus berangkat pagi dan menyebrang pulau menggunakan perahu kecil akan tetapi sebagian orang tua mereka enggan menyolahkan mereka kesana. Putus sekolah karena disana hanya ada sebuah ruangan bekas madrasah. Ruangan itu harus memuat semua anak yang level atau kelasnya berbeda, ditambah lagi mereka tidak mempunya guru. Dulu ada guru tetapi sudah berhenti mengajar karena gurunya sibuk pergi ke laut untuk mencari nafkah. Walau Anak-anak disana hanya belajar di hari sabtu dan minggu, dimana hari itu ada beberapa mahaiswa dari kota yang rela berbaik hati mengajar mereka. Walau mereka belajar tanpa raport apalagi ijazah anak-anak di pulau tegal tetap semangat belajar.
Dan saya juga pernah ikut meramaikan beberapa komunitas lainnya dalam membantu anak-anak yang terkena gangguan kesehatan contohnya Prissilia. Gadis 17 tahun ini harus rela setiap bulannya melakukan transfusi darah di RSUAM Lampung. Dia terkena thalasemia, sebuah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal. Akibatnya wajahnya terlihat pucat dan walau berumur 17 tahun wajahnya dan badannya terlihat seperti anak 13 tahun.
Ada juga namanya novitas sari gadis ini terkena cerebral palsy.Gadis sehari-hari hanya bisa terbaring lemah di ranjangnya. Tubuhnya yang kurus kering menandakan betapa beratnya penderitaan terkena penyakit bawaan dari lahir. Dengan persetujuan orangtuanya teman saya mencoba membawa dia ke rumah sakit tetapi kata dokter sudah terlambat. Akan tetapi kami tetap mencoba menghubungi psioteraphy untuk gadis berumur 15 tahun ini.

Ilmu dan pengetahuan apa yang saya dapat selama pertukaran pelajar nantinya akan saya share ke anak-anak tidak hanya di tempat saya mengajar, tetapi anak-anak yang ada di seluruh lampung/indonesia dan menginspirasi mereka untuk terus giat belajar menuntut ilmu  dan saya implementasikan apa yang saya punya dalam bentuk pengabdian saya ke masyarakat lampung. Sepulangnya dari korea saya juga berharap saya lebih mencintai Indonesia, Lampung khususnya guna membangun dan memajukan negeri tempat saya lahir, negeri yang telah memberikan saya makan dan minum dari kekayaan alamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar